Jumat, 11 Juli 2008

Catatan Si Anak Bungsu.


Kenangan Indah Ibu dan Bapak

Namaku Theresia Soestiati. Umurku 66 tahun. Aku anak ke- 5 dari Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra dan Ibu Raden Ayu Yohana Soemartilah. Bapak dan ibu memanggilku dengan sebutan Utik. Sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, 2 perempuan dan 3 laki-laki, aku punya banyak cerita yang aku alami bersama bapak dan ibuku. Jarak usiaku dengan kakak laki-laki  no 4 adalah 4 tahun. Kakak lebih banyak tinggal bersama nenek, tidak serumah di Jati Seeng, Ciledug – Cirebon. Maka aku merasa seperti anak tunggal saja.

Yang selalu aku ingat dari bapak adalah seorang yang sangat sederhana dalam gaya hidup dan jalan berpikir. Cara bicaranya spontan tanpa basa-basi. Lebih tepat kalau disebut apa adanya. Yang sangat menonjol dari sikap dan sifat bapak adalah ketaatannya pada agama. Beliau selalu berpegang teguh pada prinsip yang diyakininya. Sebagai contoh, beliau meyakini bahwa bila seorang laki-laki sudah menikah, dia harus bersedia meninggalkan ibunya untuk bersatu dengan istri yang dipilihnya. Bapak rela meninggalkan ibunya yang sudah menjanda, demi cintanya untuk ibuku. Walaupun akhirnya nenek pindah juga ke dekat rumah kami, setelah kakakku yang biasa menemani nenek pindah ke Cirebon untuk sekolah.

Sebagai anak tunggal, bapakku sebetulnya punya sifat egois, manja, keras kepala dan terlalu yakin akan prinsip hidupnya. Aku menyadari bahwa kami mempunyai sifat yang sama. Kami merasa sangat cocok satu sama lain. Kami bisa saling support, berkompromi, dan bahkan saling memanfaatkan. Tapi di sisi lain, bapak punya sifat yang juga menonjol, yaitu murah hati, tidak sombong, mudah terharu, dan tidak tegaan. Sampai-sampai sering ditipu dan dimanfaatkan orang yang bermaksud tidak baik. Anehnya bapak tetap mau menolong dan membantu orang-orang yang sudah menipunya. Dengan alasan klise, kasihan!

Ibuku seorang perempuan Jawa yang sangat sederhana, tidak neko-neko. Yang memberikan kesan sangat mendalam bagiku bahwa ibu adalah seorang yang penuh cinta kasih pada anak-anaknya. Walaupun kata orang lain cintanya lebih banyak porsinya untukku, tapi aku tahu bahwa ibu selalu memberikan porsi yang sama untuk kami semua.

Cinta kasih bapak ibuku tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi terasa sangat mendalam di dalam hati. Sederhana tapi dasyat. Hubungat kami bertiga betul-betul indah. Tanpa perlu berkata-kata, kami bisa saling menyatakan dan saling merasakan bahwa kami mempunyai cinta yang dalam. Sampai-sampai terdengar komentar orang,” Kapan sih Bapak tidak menurut dengan Utik?” Tapi ini semua tidak membuatku jadi sombong dan besar kepala. Justru membuatku makin menghormati bapak dan ibuku.

Sebagai manusia biasa bapak dan ibuku seringkali berbeda pendapat, berselisih, karena perbedaan kebiasaan dan budaya. Bapak dari suku Sunda dan ibu dari suku Jawa. Ada saja yang bisa menjadi bahan pertengkaran. Aku yang ada di tengah - tengah mereka sering menjadi rebutan untuk menjadi sekutu. Sampai – sampai untuk urusan menemani tidurpun, aku jadi rebutan. Tapi ini yang akhirnya aku jadikan cara untuk mendamaikan mereka. Aku katakan kalo mereka tidak mau berdamai, lebih baik aku yang pergi. Karena aku tidak bisa memilih satu di antara mereka. Rupanya caraku ini berhasil, mereka mau berdamai karena mereka takut kehilangan aku.

Dengan bertambahnya usia bapak dan ibu, mereka jadi sering sakit-sakitan. Apalagi dengan penyakit asma yang mereka berdua derita. Beberapa kali mereka harus dirawat di rumah sakit. Bapak punya terapi untuk diri sendiri yang mujarab. Yaitu dengan mengajar agama. Asma bapak reda bila bapak mengajar agama dan bertemu dengan murid – muridnya yang ingin dibaptis. Ada cerita, ada seorang bapak yang agak tua, hanya mau diajar agama oleh bapak, tidak mau dengan yang lain. Ternyata bapak tua tadi sudah agak rabun matanya, sehingga bila membaca harus menggunakan kaca pembesar. Kemampuan untuk menghafal doa-doa juga sudah berkurang. Hanya bapak yang bisa memaklumi kondisinya. Ini juga yang menjadikan bapak terinspirasi untuk menulis sendiri doa-doa lengkap dengan bahasa Indonesia dan pelajaran-pelajaran agama  dengan tulisan tangan yang besar-besar agar mudah dibaca oleh murid-murid calon baptisya.

Di Jatiseeng – Ciledug, setiap perayaan Natal, Paskah, maupun Tahun Baru, rumah kamilah yang selalu dijadikan tempat untuk berkumpul. Kebetulan rumah kami cukup besar untuk menampung banyak orang. Kami sudah merasa seperti saudara sendiri antar sesama umat Katolik yang ada di Ciledug. Bapak ibu sudah dianggap sebagai bapak ibu mereka, menerima mereka tanpa perbedaan. Kami semua dipersatukan dalam cinta.

Bapak ibu hanya orang desa, tapi pengetahuan dan ilmu mereka bisa ditandingkan dengan orang kota. Cara berpikir mereka cukup modern. Banyak pedoman-pedoman hidup yang diajarkan oleh mereka masih aku terapkan dan bahkan aku ajarkan juga kepada anak-anak dan cucu-cucuku. Sejak kecil aku diajari untuk selalu membaca doa pagi, doa malam, doa sebelum dan sesudah makan, doa dalam perjalanan, dan doa-doa spontan dalam bahasa yang sangat sederhana. Dan itu masih terus aku lakukan sampai usiaku sekarang ini. Bapak ibu mengajarkan bahwa inti dari doa kami adalah:

1.   bersyukur dan berterima kasih atas karuniaNya.

2.   mohon ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan.

3.   mohon selalu dilindungi, dibimbing dan diberkati.

4.   berserah diri dengan penuh iman dan harapan kepadaNya.

Karena hanya Tuhan lah Allah segalanya yang bisa mengabulkan apapun permohonan manusia. BagiNya tidak ada yang tak mungkin.

Ajaran bapak ibu yang selalu kuingat dan sangat tertanam dalam hati adalah bahwa Tuhan bersabda : “Jika engkau hendak menyenangkan Daku, percayalah kepadaKu. Jika engkau hendak lebih menyenangkan Daku, berharaplah padaKu selalu.” Ini yang menjadi modal dan bekal hidupku sampai di usiaku sekarang ini, selanjutnya sampai tiba ajalku nanti.

Aku selalu bersyukur, bangga, dan bahagia mempunyai orang tua seperti bapak dan ibu yang selalu ada untukku dengan segenap cinta mereka. Semoga akupun bisa menjadi ibu dan nenek yang punya segudang cinta untuk anak-anak dan cucu-cucuku.

Keterangan Foto:

Sebagian keluarga Bapak Doewe. Bapak yang berdiri adalah saudara jauh dari Ibu Doewe. Ketiga anak laki - laki adalah (dari kiri ke kanan) :

Joseph Soesanto (anak ke - 3)
Johanes Soeseno (anak ke - 2)
F.X. Soesmoyo (anak ke -4)