Selasa, 21 Juni 2011

Agus Rachmat OSC



EXCELSIOR: BAPAK DOEWE PRAWIRADISASTRA

SEBAGAI SANG GURU PROFETIS DARI PANTURA

Agus Rachmat OSC

1. Bayang- Bayang Kenangan

Saya tidak mengenal Pak Doewe secara langsung dan pribadi kerna usia saya tak sepadan dan sejaman dengan usia beliau. Yang terekam jelas dalam ingatan saya adalah kunjungan dadakan beliau ke rumah saya di Cicadas, Bandung, pada tahun 1960an abad yang baru lalu. Sewaktu-waktu, tanpa berita terlebih dahulu, Pak Doewe kerap melakukan kunjungan kilat ke rumah saya; dan kehadirannya itu setiap kali merubah suasana keluarga menjadi lebih cerah dan ceria. Suara beliau yang lantang, derai tawanya yang terus bergelombang langsung menciptakan keakraban kerna mengikis habis jarak usia dan batas tatakrama. Setiap anak disapanya ramah, diberkati keningnya dengan tanda salib, dan ditanyai umur serta jenjang sekolahnya. Lalu kalimat terakhirnya adalah pertanyaan misterius: “Siapa nanti yang akan jadi pastur? Siapa jadi suster?’ Lantas kami, anak-anak keluarga Sabda, saling pandang satu sama lain dengan kerling mata penuh tanda tanya!

Dari dongeng keluarga, akhirnya saya tahu bahwa kedua orang tua saya adalah mantan murid pak Doewe di Sekolah Excelsior yang didirikan beliau di kota Ciledug sebelum Perang Dunia II. Berkat dorongan pak Doewe jugalah kedua orang tua saya itu lalu melanjutkan jenjang pendidikannya di Jawa Tengah: ibu saya melanjutkan pendidikan guru di sekolah susteran Mendut, dan ayah saya ke sekolah guru Katolik di Muntilan. Berkat teladan pak Doewe jugalah kedua orang tua saya itu akhirnya berani menganut agama Katolik secara terbuka. Sebagai tokoh panutan yang dikenal masyarakat luas di daerah Ciledug, pak Doewe berhasil menenteramkan kecemasan kakek-nenek saya bahwa mengijinkan putra/i mereka jadi Katolik itu bukanlah berarti suatu kehilangan, putusnya simpul kekerabatan, melainkan justru makin mempererat ikatan kasih dan persaudaraan itu dengan cinta Kristiani yang tulus abadi. Akhirnya, pak Doewe jugalah yang ikut membidani pernikahan kedua orang tua saya menjadi pasangan suami istri. Itu sebabnya sejak kecil, saya, - bersama kakak/adik lainnya-, dididik untuk memandang pak Doewe sebagai kakek rohani kami. Hubungan kekeluargaan itu terus berlanjut hingga kiwari bersama para anak-cucu keluarga besar Doewe.

2. “Excelsior” sebagai Tindakan Profetis

Tindakan profetis artinya tindakan kenabian: suatu tindakan yang mempunyai pesan yang lestari, tak lekang oleh perubahan alam dan sejarah, terus bergema dan berguna di sepanjang jaman kerna merujuk pada persoalan pokok hidup manusia dimanapun ia berada. Persoalan pokok itu ialah: Bagaimana manusia itu bisa berkembang, makin menjadi lebih baik secara jasmaniah & rohaniah, di dunia & di akhirat? Secara alamiah, dibimbing oleh naluri kemanusiaannya, Pak Doewe berhasil menemukan kunci utama atau formula dasar untuk menjawab persoalan pokok itu. Formula perkembangan hidup itu adalah “Excelsior”, prinsip & slogan yang dipilihnya sebagai nama bagi sekolah rakyat, pendidikan dasar, yang didirikannya di Ciledug sebelum Jaman Penjajahan Jepang.

“Excelsior” adalah sebuah istilah bahasa Latin yang berarti “selalu berjuang untuk jadi lebih tinggi & luhur lagi,” ringkasnya “lebih unggul lagi” (Ever Higher). Dan keunggulann yang berusaha dicari dan ditanamkan pak Doewe itu mempunyai tiga (3) dimensi berikut: keunggulan intelektual, moral, dan religius. Keunggulan intelektual itu berusaha diwujudkannya melalui jalur pendidikan formal di sekolah; keunggulan moral melalui peran sosial dan teladan nyata hidup pribadi di tengah masyarakat; dan keunggulan religius melalui perannya sebagai rasul awam di Tatar Pantura (Pantai Utara), Jawa Barat.

3. Excelsior Intelektual

Peran dan panggilan utama pak Doewe ialah menjadi seorang guru, tokoh pendidik bagi masyarakat pribumi di kampung halamannya. Kendati sebetulnya ia mempunyai bekal dan kecakapan yang memadai, memiliki keahlian akademik dan dukungan sumber daya finansial & sosial untuk merintis sebuah karir yang terpandang di kota besar seperti Bandung, Jakarta atau Yogyakarta, pak Doewe malah memilih untuk berkarya sebagai seorang guru desa bagi masyarakat pribumi di kampung kelahirannya yang relatif terpencil di daerah Ciledug, Pantura Jabar. Pilihan lokasi kerja ini dipandu oleh visi & misi pribadi tertentu: berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat setempat melalui jalur pendidikan. Warga Ciledug pada jaman itu terutama hidup sebagai petani padi & tebu atau buruh pabrik gula milik Belanda. Tanpa pendidikan, mereka akan tetap saja tergantung pada perubahan kondisi alam yang tak menentu atau pada perusahaan kolonial yang menggaji mereka dengan upah rendah sebagai buruh kasar dan buta huruf. Hanya melalui pendidikan sajalah akan terbuka peluang bagi warga lokal untuk meretas cara hidup lain yang lebih baik: sebagai guru, pegawai, perawat atau pedagang, misalnya. Ringkasnya, sebagai seorang guru, pak Doewe merasa terpanggil untuk ikut serta mencerdaskan dan menyejahterakan nasib anak bangsa yang tinggal di kampung halamannya sendiri. Dan pendidikan adalah “pelangi” atau “jembatan emas” untuk meraih masa depan yang lebih baik tersebut.

Kesadaran bahwa pendidikan adalah strategi guna menciptakan “a better future” itu terus berkumandang hingga jaman sekarang juga. Itu sebabnya aneka lembaga dan jenjang pendidikan di Indonesia kini berlumba-lumba menggelari dirinya sendiri sebagai “a center of excellence” (pusat keunggulan): masing-masing memberi janji yang menggiurkan untuk membekali peserta didiknya dengan ilmu & ketrampilan guna mendulang nasib yang lebih baik. Nama “Excelsior” yang dipilih pak Doewe sudah jauh-jauh hari mengantisipasi janji dan kesibukan pendidikann modern Indonesia kiwari itu.

Sebagai suatu lembaga pendidikan formal, kita kini boleh mengenang dengan bangga kualitas dari “Excelsior School” yang diselenggarakan secara mandiri oleh pak Doewe itu. Indikasi dari mutu pendidikan sekolah itu bisa dilihat dari dua (2) prestasi sosial para siswa/inya berikut: pertama, dari kemampuan para muridnya itu untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi lagi di pelbagai kota besar di pulau Jawa; dan kedua, dari kemahiran para muridnya untuk menguasai bahasa Belanda: syarat utama untuk mengalami mobilitas sosial atau pergerakan nasib ke taraf yang lebih tinggi pada jaman kolonial dewasa itu. Keprihatinan akan mutu akademis itu terus berlanjut pada saat Sekolah Excelsior itu berkembang menjadi Sekolah Santo Thomas yang menyelenggarakan pendidikan dasar dari tingkat TK hingga SMP dewasa ini. Banyak alumninya kini tersebar di pelbagai kota dengan status dan profesi yang cukup baik di mata masyarakat.

4. Excelsior Moral

Di samping segi intelektual, pak Doewe juga sungguh menyadari bahwa pendidikan yang holistik (utuh) itu mengandung dimensi moral juga. Pendidikan itu bukanlah sekedar proses pengalihan ketrampilan & pengetahuan (transfer of skill & knowledge) dari guru ke murid melainkan juga suatu proses radiasi atau pemancaran nilai dan sikap hidup (transfer of value & attitude) agar para siswa/i itu bisa berkembang menjadi anggota masyarakat yang mempunyai tanggungjawab sosial atas nasibnya sendiri dan nasib sesamanya pula. Ringkasnya, kompetensi intelektual itu perlu dilengkapi dengan kompetensi moral agar setiap individu itu mempunyai suara hati pribadi yang senada & segelombang dengan suara hati rakyat (social conscience).

Tragedi dari pendidikan nasional kita dewasa ini adalah proses pendidikan yang malah melahirkan individu yang secara fatal telah mencederai hati nurani rakyat banyak itu: warga dan tokoh teras masyarakat yang malah menjadi “bencana dan bukannya pahala” bagi lingkungan sosialnya. Sadar bahwa krisis moral adalah penyebab utama dari keterpurukan dan kegoncangan nasional yang kini melanda bangsa kita, - mulai dari radikalisme & terorisme hingga ke KKN, plagiarisme, narkoba dan pornografi aktor politik & artis nasional dll. -, maka sekarang ini seluruh lembaga pendidikan negri dan swasta di tanah air dihimbau untuk memberikan pendidikan akhlak & watak (character building) bagi para peserta didik binaannya. Konkretnya, lembaga-lembaga pendidikan itu kini diminta untuk memberi perhatian yang penuh dan sungguh atas mata pelajaran pembentukan akhlak & watak mulia berikut: pendidikan agama, moral Pancasila, budi pekerti, kepribadian, kewiraan dan kewarganegaraan.

Apa kiranya yang bisa kita petik dan pelajari dari praktek pendidikan moral yang dilakukan pak Doewe sebagai seorang guru dan tokoh masyarakat? Nampaknya satu (1) hal berikut ini pantas kita lanjutkan dan lestarikan, yakni: pendidikan moral itu tidaklah bersifat kognitif semata (menyampaikan informasi) melainkan terutama bersifat afektif (menyentuh hati). Aneka mata pelajaran moral yang tadi disebutkan di atas memang penting untuk menambah wawasan dan pengertian, namun pendidikan moral itu hanya akan berakar dan bertahan dalam jiwa manusia kalau hatinya tersentuh oleh rasa kagum dan haru. Dan mayoritas anak didik dan kenalan pak Doewe itu memang tersentuh oleh rasa kagum dan haru saat mereka melihat betapa besarnya cinta pak Doewe akan profesinya sebagai guru dan akan murid-murid yang ada di bawah asuhannya. “Cor ad cor”, artinya: hati itu berbicara kepada hati! Melalui “bahasa hati” itulah maka nilai dan perilaku yang menjiwai karakter pak Doewe itu bisa tercurahkan langsung ke dalam jiwa para muridnya seperti air cucuran atap jatuh di lahan yang subur (transfer of value and attitude), misalnya beberapa nilai dan sikap dasar moral berikut: Cintailah kebenaran (jangan berbohong dan bersaksi dusta), Cintailah kehidupan (jangan membunuh dan menganiaya), Cintailah harta milik orang lain (jangan mencuri, memeras dan menipu), Cintailah citra dan nama baik orang lain (jangan memfitnah, berburuk sangka, melancarkan “character assassination”), Cintailah pasangan dan relasi orang lain (jangan berzinah, berselingkuh dan memperkosa), Cintailah usaha dan pekerjaan yang halal (jangan mabuk, judi dan korupsi), Cintailah dirimu sendiri (jangan menjual harga diri dan suara hati). Melalui “bahasa cinta” semacam itulah pak Doewe berusaha menanamkan semangat ”excelsior moral” di kalangan anak didik dan kenalannya: semangat untuk terus mengembangkan diri menjadi insan yang berbudi luhur dan berhati mulia. Tanpa luruh dalam arogansi (kesombongan), kita memang mesti berusaha membangkitkan rasa kagum, haru dan terimakasih dalam hati orang yang masuk dalam lingkaran hidup kita. Itulah yang dimaksud dengan “pesona moral” (moral appeal): pancaran pengaruh positif yang membentuk kepribadian (character building) manusia menjadi lebih unggul dan terpuji secara moral.

5. Excelsior Religius

Di samping mengandung dimensi intelektual & moral, istilah “Excelsior” itu menyiratkan arti religius pula: excelsior berarti suatu perjuangan untuk mekin menyempurnakan atau menguduskan diri hingga boleh menjadi “anak yang berkenan pada Bapa di surga.” Dengan kata lain, matra religius dari pendidikan adalah proses pengudusan diri (sanctificatio) guna menjadi insan yang beriman & bertakwa kepada Sang Pencipta. Dalam rumusan yang termuat dalam UU Sisdiknas (No. 20, tahun 2003) dikatakan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan nasional itu ialah membentuk manusia menjadi “manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” (catatan: “Takwa” itu berarti saleh atau kudus).

Sepanjang hidupnya, pak Doewe sudah berusaha untuk terlibat dalam karya pengudusan diri & sesama ini: untuk meyakini, menghayati dan menebarkan arti dari sikap iman & takwa kepada Yang Maha Esa. Orang yang beriman adalah orang yang “eling & rumasa,” artinya, orang yang ingat & sadar bahwa hidup manusia itu mempunyai tujuan adikodrati (supernatural aim): tujuan yang lebih tinggi (excelsior) dari batas dunia yang fana dan sirna ini kerna menjangkau hidup abadi bersama Bapa di surga. Didorong oleh iman Kristiani, pak Doewe juga menyadari bahwa manusia itu kelak akan menghadap Bapa Surgawi bukan dengan tangan yang kosong & telanjang melainkan dengan membawa “buah tangan”, yakni buah-buah cintakasih yang telah ditebar dan dipetiknya sepanjang hidupnya di dunia ini (Lihat I Kor. 13: 1-13). Hidup manusia di dunia ini sungguh luhur berharga kerna hidup yang fana dan sementara ini mempunyai gema dan pantulan abadi dalam surga. Dari pikiran dan perbuatannya, kita bisa menyimpulkan bahwa bagi pak Doewe iman & kasih itu adalah suatu dwitunggal yang tak terceraikan, kerna kasih adalah tanda bukti yang paling kentara dari iman yang hidup: iman yang berbuah bagi sesama, bukannya mati dan mandul ditelan verbalisme dan ritualisme belaka: “Sekalipun aku mempunyai iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.” (I Kor. 13: 2. Bdk. Yak. 2:17). Seturut teladan Yesus Kristus Junjungannya, kasih yang diamalkan pak Doewe adalah kasih Kristiani yang menampilkan tiga (3) wajah unik berikut: kasih yang memberi, kasih yang mengampuni, dan kasih yang melayani (the giving, forgiving and serving Love).

Dalam karya pengudusan yang dilaksanakannya, pak Doewe itu pantas disebut sebagai seorang “rasul awam.” Dari Kitab Suci kita tahu bahwa seorang rasul adalah seorang tokoh yang mewartakan Kabar Gembira tentang Kasih Allah dan mendirikan sebuah jemaat di lokasi tertentu. Pak Doewe itu bukan saja putra Sunda pertama yang dibaptis menjadi Katolik melainkan juga putra Sunda pertama yang membentuk suatu lingkaran jemaat Kristiani di tempat ia hidup dan berkarya. Benih yang ditebarkannya itu kini telah berkembang menjadi sebuah semi-paroki di Ciledug dan wilayah sekitarnya. Jejak dan semangat pak Doewe juga masih kental terasa dalam suasana hangat & akrab dan sikap akur & rukun yang mewarnai Stasi Santa Theresia Ciledug kiwari: dengan gembira dan sukarela umat Santa Theresia itu gemar berbagi buah iman & kasih satu sama lain.

6. Penutup

Dalam kancah dan wacana politik nasional sekarang ini, kita kerap mendengar satu istilah sumbang berikut: “Money Politics”. Artinya, politik bukan lagi menjadi seni dan arena guna membaktikan diri demi kesejahteraan umum melainkan menjadi seni untuk menyikat dan menyunat kesejahteraan rakyat itu demi kesejahteraan pribadi. Gelagat serupa juga berkecambah dalam ajang pendidikan nasional kita dewasa ini: “Money Education” atau komersialisasi pendidikan makin menyusupi segala jenjang dan jalur pendidikan Indonesia. Tak heran bila biaya pendidikan itu makin menggelembung tinggi kendati 20% RAPBN hendak dialokasikan bagi dunia pendidikan. Bahaya dari komersialisasi pendidikan ialah melahirkan manusia yang hanya bisa bergerak bila ada insentif eksternal (perangsang dari luar) berupa keuntungan pribadi, seperti kuda yang bergerak kerna mengejar jerami yang ditaruh di ujung hidungnya. Manusia tipe “kuda” semacam itu akan menjadi orang yang sarat dengan pamrih dan kepentingan pribadi (vested interests). Pamrih pribadinya akan melekat dan menunggangi segala pekerjaan dan jabatan yang dilakukannya.

Semangat “Excelsior” yang diwariskan pak Doewe mengajarkan bahwa manusia itu bisa juga digerakkan oleh insentif internal (perangsang batiniah) yang dikendalikan bukan oleh perhitungan komersial untung & rugi melainkan oleh pertimbangan moral baik & buruk. Hidupnya dipandu bukan oleh “interests” semata melainkan juga oleh “values” yang mengawalnya saat memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Bila “interests” adalah sinyal untuk memiliki dan menikmati, maka “values” adalah sinyal untuk mengabdi dan melayani. Pada akhirnya, pak Doewe itu bisa menjadi seorang pribadi yang “berjiwa besar” hanya karena dia telah berusaha untuk menghayati amanah Sang Guru Agung yang menjadi panutannya sepanjang hidup: “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” (Markus 10:45).

Senin, 13 Juni 2011

Sambutan Mgr.J.Pujasumarta Pr


BENIH IMAN ITU HIDUP:

MENGAKAR, MEKAR DAN BERBUAH

(Kenangan Abadi: Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra)


Dalam Arah Dasar Keuskupan Bandung (2010-2014) umat Allah Keuskupan Bandung merumuskan cita-citanya berkehendak menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Cita-cita tersebut telah menjadi peristiwa sejarah dalam pribadi Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966); diwujudnyatakan dalam perihidup anak-cucu dan kerabat-kerabatnya, dan kita semua pada zaman sekarang.

Pernikahannya dengan Raden Ajeng Yohana Soemartilah, kerabat Kraton Yogyakarta (1931) merupakan tanda keterbukaan hati pasangan suami isteri itu akan terjadinya dialog antar-budaya, yang membongkar sekat-sekat primordialisme kesukuan. Di kedalaman dialog itu ditemukan, dihayati, dan diamalkan nilai kristiani yang membuat hati keluarga yang dibangun menjudi bagai tanah yang baik, yang subur bagi pemenuhan iman kristiani.

Benih iman itu hidup dalam hatinya, hati manusia, yang terbuka pada nilai kristiani, tanpa terluka, namun sebaliknya bahkan disuburkan. Ke-Sunda-annya tidak dirusak, namun sebaliknya digenapi menjadi Sunda Katolik. Dengan begitu, ke-Katolik-an bukanlah suatu barang asing yang hidup bagai benalu pada pokok ke-Sunda-an, tetapi ke-Katolik-an menjadi terjelma, ter-inkarnasi dalam ke-Sunda-an yang terbuka pada kepenuhan nilai.

Proses inkarnasi Firman masih terjadi pada zaman sekarang dalam jalur-jalur yang lebih kompleks karena pada zaman sekarang interkomunikasi budaya mengarah pada wilayah luas multikulturalisme. Interkomunikasi budaya itu tentu sudah membongkar sekat-sekat primordialisme kesukuan antar manusia zaman sekarang. Dan di wilayah itu proses inkarnasi Firman terjadi secara nyata.

Dalam proses inkarnasi Firman menjadi manusia, dan tinggal di tengah-tengah kita. “Verbum caro factum est, et habitavit in nobis” (Yoh 1:14). Proses hidup mencapai kepenuhan dengan mengakar, mekar, dan berbuah, sehingga Firman menjadi Kabar Sukacita, “Verbum” menjadi “Evangelium”. Dalam peristiwa Kristus proses untuk menghasilkan buah dilaluinya melalui jalan salib kehidupan-Nya, suatu proses pengosongan diri seutuh-utuhnya kepada Allah, agar diisi dengan Roh Allah sendiri, suatu sikap berbagi tanpa pamrih, karena kesadaran bahwa seluruh alam ini Allah juga pemilikinya.

Saya berharap proses inkarnasi Firman menjadi manusia, dan transformasi “Verbum” menjadi “Evangelium” yang terjadi dalam pribadi Bp. Doewe, tetap terjadi pada zaman sekarang dalam setiap pribadi warga umat Allah Keuskupan Bandung, yang bertekad mewujudkan cita-citanya menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Dari tanaman yang hidup proses kehidupan itu dipelajari. Agar mengakar Bapak dan Ibu Doewe menemukan keluarga menjadi tempat pengolahan tanah agar benih iman itu tumbuh, dan mengakar, sehingga akar-akarnya dapat menjangkau sumber air yang tak kunjung habis. Sumber itu adalah kasih Allah sendiri yang ditandakan dalam hidup berkeluarga, wujud Gereja rumah tangga, tempat orangtua menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dengan teladan nyata. Teladan nyata dari orangtua menjadi daya tumbuh bagi benih-benih iman yang ditabur dalam hati anak-anak.

Pada masa sulit ketika kekuasaan Jepang meraja lela di Asia Timur, oleh Bapak Doewe dirintis sekolah (Excelsior School) untuk anak-anak pribumi agar yang berakar di dalam keluarga tetap mekar, tumbuh semakin kuat, terlindung dari bahaya yang mengancam. Sekolah itulah menjadi cikal bakal Sekolah Santo Thomas yang didirikan di atas lahan keluarga Doewe. Melalui proses pendidikan sekolah itu pula Gereja hidup, menghasilkan buah baik bagi masyarakat. Kesediaannya berbagi tidak surut dimakan zaman, bahkan sebaliknya semakin berbuah melimpah. Mengawali pelayanan saya sebagai Uskup Keuskupan Bandung saya menyaksikan upacara hibah sebidang tanah luas oleh keluarga Douwe kepada Gereja, agar bisa semakin dapat dimanfaatkan untuk keperluan Gereja, dan melalui Gereja untuk masyarakat.

Kalau sekarang umat Allah Keuskupan Bandung menegaskan cita-citanya untuk menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah, sebenarnya rujukan mewujudkan cita-cita itu sudah ada, yaitu keluarga Bapak Ibu Doewe. BENIH IMAN ITU HIDUP:

MENGAKAR, MEKAR DAN BERBUAH (Kenangan Abadi: Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra)

Terimakasih kepada keluarga besar Bapak Ibu Doewe yang hidupnya memberi inspirasi bagi kami, umat Keuskupan Bandung untuk mewujudkan cita-cita Gereja menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah.

Salam, doa ‘n Berkah Tuhan,

Bandung, 8 Januari 2010

+ Johannes Pujasumarta

Uskup Keuskupan Bandung

Selasa, 01 Desember 2009

Gereja Katolik Ciledug.

STASI SANTA THERESIA CILEDUG

DULU, KINI DAN ESOK

Stasi Santa Theresia Ciledug, Paroki Bunda Maria Cirebon adalah salah satu stasi yang cukup tua dalam perjalanan Gereja di Keuskupan Bandung. Bahkan sudah sejak lama stasi ini sudah memiliki buku administrasi sendiri, terutama untuk baptis dan perkawinan. Stasi yang sebenarnya dulu dipersiapkan untuk menjadi sebuah Paroki. Perjalanan menggereja di Stasi Santa Theresia Ciledug tidak dapat dilepaskan dari dua orang tokoh yang selalu lekat dan menjadi semangat dalam kehidupan menggereja di Stasi ini. Tokoh yang pertama adalah Bapak Lodevicus Douwe dan yang kedua adalah Pst. Van der Pol, OSC. Roh dari kedua tokoh inilah yang sampai sekarang masih bergema dalam hati umat di Stasi Ciledug.

Bapak Lodevicus Douwe

Awal masuk ke Paroki Bunda Maria, khususnya stasi St. Theresia Ciledug, adalah membereskan tanah hibah seluas 12.000M2 dari keluarga Douwe kepada keuskupan Bandung. Hal ini adalah suatu yang luar biasa. Kerelaan keluarga besar untuk menghibahkan tanah kepada Keuskupan tentu tak lepas dari semangat hidup Bapak Douwe dalam perjalanan imannya. Bapak Douwe meletakkan dasar iman yang sungguh luar biasa bagi umat di Stasi Ciledug, kompleks sekolah Santo Thomas yang telah menghasilkan banyak tokoh dalam masyarakat dan Gereja adalah salah satu bukti nyata beliau dalam karya pewartaan cinta kasih Kristus. Lewat sekolah beliau bukan hanya menaburkan ilmu, tetapi juga menaburkan iman. Benih yang beliau taburkan, kini telah tumbuh, berkembang dan menghasilkan buah nyata.

Bapak Lodevicus Douwe adalah orang Sunda pertama yang menjadi katolik. Beliau lahir tahun 1907 di desa Cigobang, Kecamatan Cirebon. Pada masa beliau pendidikan menjadi barang yang langka. Beruntunglah beliau sebagai anak lurah dan tuan tanah yang kaya sehingga beliau dapat melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah, beliau mulai berkenalan dengan Kristus lewat seorang pastor Belanda. Di Yogyakarta ini pulalah beliau menemukan tambatan hati dan menerima sakramen perkawinan. Bapak Doewe setelah menikah hijrah ke Ciledug. Di Ciledug inilah Bapak Douwe mendirikan sekolah Excelsior School. Mulai saat itulah iman katolik di Stasi Ciledug semakin tumbuh dan berkembang, walaupun untuk merayakan ekaristi mereka masih harus ke Cirebon.

Akan tetapi, jaman terus berubah. Jepang datang ke Indonesia. Pada masa pendudukan jepang ini sekolah harus ditutup. Baru pada tahun 1952 sekolah ini dibuka kembali, yaitu sekolah rakyat yang sampai saat ini dikenal dengan sekolah Santo Thomas. Sejak saat itu pula pelayanan sakramen ekaristi dimulai dan dilakukan di rumah-rumah umat karena belum memiliki gedung gereja. Perkembangan sekolah Santo Thomas tidak hanya berhenti pada sekolah rakyat, pada tahun 1958 dibangunlah Sekolah Menengah Pertama. Dan pada tahun 1971 di Stasi St. Theresia Ciledug dibangunlah Gereja di tanah milik keluarga Douwe.

Tidak heran kalau sampai saat ini nama Bapak Doewe selalu lekat di hati umat St. Theresia Ciledug. Banyak hal yang telah beliau buat. Lebih-lebih lewat sekolah yang beliau dirikan beliau telah menaburkan benih-benih iman akan Kristus bagi umat di Stasi Ciledug. Benih yang beliau tabur telah tumbuh dan berkembang dan menghasilkan buah yang berkelimpahan. Hal ini dapat dilihat dengan semakin tumbuh dan berkembangnya kehidupan menggereja di Stasi St. Theresia Ciledug. Bapak Douwe telah memberikan warisan yang sungguh luar biasa bagi Gereja. Komplek Sekolah St. Thomas yang sekarang dikelola oleh Yayasan Salib Suci adalah salah satu warisan beliau. Melalui kompleks sekolah ini benih-benih iman akan Kristus ditaburkan dan kapandaian dan ilmu dibagikan. Melalui Gereja yang dibangun di atas tanah beliau, iman dan kepercayaan akan Kristus bagi umat di Stasi St. Theresia Ciledug semakin tumbuh dan berkembang.

Pastor Van der Pol, OSC

Nama Pastor Van der Pol, OSC bagi umat di stasi St. Theresia Ciledug selalu menjadi kenangan yang indah akan figur gembala yang sungguh mencintai umatnya. Maka, tidak heran kalau nama beliaupun saat ini diabadikan oleh umat Stasi St. Theresia Ciledug menjadi sebuah yayasan sosial, yaitu yayasan Van der Pol yang bergerak dalam bidang kemanusiaan dan pendidikan. Pastor Van der Pol, OSC adalah figur gembala yang mencintai umatnya, hal ini digambarkan dalam tugas dan pelayanannya khususnya untuk umat di stasi St. Theresia Ciledug. Memang tidak banyak hal yang dapat dirunut dalm sejarah pelayanan beliau di Stasi St. Theresia Ciledug. Akan tetapi, dengan adanya Yayasan Van der Pol dapat menjadi gambaran bagaimana kehadiran beliau sebagai seorang gembala selalu lekat dalam hati umat.

Kecintaan beliau diwujudkannya dalam perhatiannya untuk yang miskin dan menderita. Hal ini juga terpancara dalam kehidupan keluarga besar Pastor Van der Pol. Pada tahun 1998 keluarga besar Pastor Van der Pol di Belanda dan Belgia memberikan donasi sekitar tiga puluh enam juta rupiah untuk dibagikan kepada umat Ciledug lebih-lebih yang tidak mampu. Atas prakarsa beberapa umat dana itu lalu dikelola dan dibentuklah sebuah yayasan Van der Pol supaya dana itu dapat semakin dikembangkan dan dapat membantu semakin banyak orang. Yayasan ini menjadi ujung tombak Gereja dalam pelayanan kemanusiaan dan bantuan pendidikan bagi umat yang kurang mampu.Yayasan ini sekarang semakin tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kekayaan Gereja.

Benih yang Ditabur, Tumbuh dan Berkembang

Kehadiran dua tokoh di atas bagi umat St. Theresia Ciledug, bagaikan biji sesawi yang mati yang kini tumbuh dan berkembang. Benih-benih iman yang telah ditaburkan oleh kedua tokoh di atas selalu menjadi jiwa dan roh bagi umat di Stasi St. Theresia Ciledug. Hal ini sangat nampak dalam kehidupan menggereja saat ini. Rasa kekeluargaan yang dalam, kepedulian satu dengan yang lain menjadi gambaran akan warisan iman yang telah tumbuh dan berkembang dalam hati umat. Seperti dua tokoh di atas yang senantiasa rela untuk berbagi, demikian juga salah satu yang menonjol dalam kehidupan umat di Stasi St. Theresia Ciledug adalah kerelaan untuk berbagi satu dengan yang lain yang cukup tinggi.

Dalam perjalanan panjang kehidupan menggereja di Stasi ini benih yang semakin tumbuh dan berkembang itu juga membutuhkan pelayanan yang baik. Oleh karenanya sejak tahun 2009 ini mulailah dibentuk PGAK sebagai rekan seperjalanan bagi Dewan Pastoral Stasi dan Pastor Paroki dalam mengelola reksa Pastoral di Stasi Ciledug. Umat yang semakin tumbuh dan berkembang tentu juga menuntut sarana dan prasarana yang lebih juga. Disadari kebutuhan umat untuk mengembangkan iman sangat tinggi, akan tetapi sarana penujang kurang memadai. Oleh karenanya bersamaan dengan pembangunan kompleks sekolah St. Thomas, umat Stasi Ciledug juga mulai merancang dan merencanakan untuk membangun Pastoran dan Aula Stasi.

Stasi St. Theresia Ciledug dari segi usia memiliki sejarah yang lebih panjang dari Paroki Bunda Maria sendiri yang baru berumur lima belas tahun. Bahkan dalam hal pencatatan buku baptis dan perkawinan pun sudah dimulai lama sebelum paroki Bunda Maria berdiri. Besar harapan dengan nanti dibangunnya pastoran dan aula Stasi, Stasi St. Theresia Ciledug juga dapat dimekarkan menjadi Paroki mandiri dengan membawahi Stasi Losari dan Stasi Babakan sehingga rekasa pastoral juga dapat dilaksanakan dengan lebih baik.

(Rm. L. Bambang Gatot S. Pr )

Mengenang Bpk.L.Doewe P. (1907-1966)


Api itu Tetap Harus Menyala

Doni Koesoema A

Proses formasio intelektual dan spiritual yang dialami oleh Bapak Ludovikus Doewe Prawiradisastra (1907-1966) kiranya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kehadiran dan perjumpaannya dengan para Yesuit. Semangat Ignasian yang berkobar dalam dirinya bisa dirangkum dalam satu kalimat ini, “Api itu tetap harus menyala”. Tentu saja, bukanlah tugas yang mudah dan tidak tanpa tantangan untuk menyalakan Api cinta Kristus dalam sebuah masyarakat dan budaya yang tidak memiliki akar kristianitas seperti Sunda. Namun hidup Bapak Doewe telah menunjukkan bahwa kristianitas bisa tumbuh jika dilandasi dengan keyakinan iman yang kokoh yang terwujud melalui keteladanan hidup dan melalui karya pendidikan yang telah lama menjadi sarana bagi Gereja dalam mewartakan ajaran iman.

Mengapa pendidikan?

Bagi Bapak Doewe, pendidikan merupakan sarana yang efektif bagi penyebaran kabar gembira keselamatan Allah. Ia sendiri mengenal Kristus justru melalui banyak perjumpaannya dengan guru rohani, yaitu para imam Yesuit ketika ia mengenyam pendidikan MULO di Jogjakarta dan HIK di Muntilan. Yang lebih mengena, tentu saja, perjumpaannya yang hanya sebentar dengan Romo Van Lith yang menyisakan kesan lama dan abadi dalam dirinya tentang semangat misioner yang ditanamkan dalam dirinya.

Yesuit memang telah lama memiliki tradisi kuat dalam bidang pendidikan. Semangat misioner yang dimiliki oleh Romo Van Lith telah memberinya inspirasi untuk melanjutkan cita-cita dan karya Romo Van Lith itu dalam seluruh perjalanan hidupnya. Karena itu, begitu dia dipermandikan dan menjadi Katolik, semangat misioner itu semakin menyala dalam dirinya. Ia pun ingin meneruskan pengalaman iman perjumpaannya dengan Yesus Kristus itu melalui karya pendidikan. Ia mendedikasikan karya pendidikan itu dengan cara mendirikan Excelsior School di samping rumahnya (sekolah ini tutup ketika Jepang datang ke Indonesia), mengajar agama, dan kelak, berkat jasa baik dan bantuan Yayasan Salib Suci Bandung dan Mgr. Arnts (Uskup Agung berkedudukan di Bandung), ia mendirikan Sekolah Santo Thomas yang sampai sekarang masih melayani pendidikan dasar mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Jejak-jejak Semangat Yesuit

Menelusur kembali bagaimana jejak semangat para Yesuit dalam hidup Pak Doewe tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri. Sejak awal memang para Yesuit sangat menekankan pembaharuan kerohanian Gereja dari dalam. Karena itu, sejak semula, Serikat Yesus menekankan kerasulan pewartaan iman melalui cara berkotbah, berkatekese dan mengajar anak-anak dari kalangan kurang terdidik agar semakin mengenal Allah dan Gereja. Kepercayaan iman bahwa benih Sabda itu mesti ditanamkan dalam jiwa anak-anak sejak kecil inilah yang telah memberikan inspirasi bagi para Yesuit untuk memberikan perhatian besar pada pendidikan iman anak-anak di sekolah. Di Indonesia, semangat ini tampil hidup dalam diri Romo Van Lith. Iman akan Yesus Kristus itu hanya akan dapat dimengerti dan dikenali jika ada orang yang mewartakannya. Untuk itulah Romo Van Lith ingin mendidik orang-orang agar mampu menjadi pewarta Sabda Tuhan yang handal. Perjumpaan Bapak Doewe dengan Romo Van Lith yang hanya beberapa saat ini rupanya memiliki pengaruh yang sangat mendalam bagi hidupnya. Kecintaannya pada kegiatan mengajar, terutama memberikan pelajaran agama, baik kepada para siswa, maupun kepada para katekumen merupakan kegiatan yang dapat memberikan kegembiraan dan makna yang mendalam bagi hidupnya. Pak Doewe adalah seorang katekis dan pendidik, dan seluruh hidupnya dibaktikan untuk kegiatan pewartaan iman ini.

Budaya Sunda yang tidak memiliki akar kekatolikan tidak membuatnya surut dalam menempa diri menjadi rasul sejati bagi masyarakat di Sunda. Ia sendiri, yang setelah mengerti, memahami dan merasakan betapa berharganya iman akan Yesus Kristus bagi hidupnya, ingin juga menularkan kepada saudara-saudaranya di tanah Sunda agar mereka pun dapat mengenal kebaikan hati Allah yang telah bermurah hati dan baik dalam hidupnya.

Sebagaimana dahulu para Yesuit juga berkobar-kobar ingin menyalakan api cinta Kristus kepada semua bangsa, agar bangsa-bangsa lain yang belum mengenal Kristus dapat melihat terang daripadaNya, Pak Doewe pun juga memiliki semangat yang sama. Ia ingin, agar masyarakat Sunda pun melihat dan mengenal api cinta Kristus yang telah menyalakan bara pelayanan di dalam hatinya.

Pak Doewe telah memulai menyalakan api cinta Kristus itu pertama-tama di dalam dirinya sendiri, keluarganya, dan kemudian di dalam masyarakat Sunda. Kehidupannya menjadi berkat bagi masyarakat Sunda, dan terutama bagi Gereja. Bagaimana pun juga, jika Allah telah menghendaki, tidak ada satupun yang mustahil. Melihat pertumbuhan Gereja Katolik di tanah Sunda pada masa kini, kita patut bersyukur, bahwa api cinta Kristus yang pernah mulai dinyalakan oleh Pak Doewe melalui dunia pendidikan itu telah memiliki para penerus hidup yang akan menjadi saksi kehadiran Tuhan di tanah Sunda. Pak Doewe telah memulainya, dan kita memiliki tanggungjawab untuk meneruskan agar api itu terus menyala. Menyalakan api cinta Kristus dalam setiap hati merupakan kerinduan terdalam yang pernah dimiliki oleh Pak Doewe sebagai guru, pendidik, dan pengajar iman. (Penulis adalah Imam Yesuit, Alumnus Boston College Lynch School of Education, Amerika Serikat).

Senin, 29 Desember 2008

Jakob Sumardjo


MENGGEREJA DI TANAH SUNDA

Dari riwayat Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966) dapat disimak, bagaimana berat menjadi Katolik di lingkungan masyarakat Sunda. Seorang Sunda yang menjadi Katolik seakan-akan bukan warga masyarakatnya lagi. Pada awalnya Bapak Doewe sulit diterima oleh anggota keluarga besarnya dan juga masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini menyimpulkan, seolah-olah lebih mudah orang bukan Sunda yang menjadi Katolik namun hidup di lingkungan masyarakat Sunda, dari pada seorang Sunda yang memeluk agama Katolik.

Menurut saya, hal ini berhubungan dengan dengan sikap budaya masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang kuat iman Islamnya. Bahkan tersebar ungkapan bahwa Sunda itu Islam. Untuk memahami hal ini perlu disimak historisitas kebudayaan Sunda sampai saat ini. Dalam sebuah ceramah di Banjaran tentang pantun Sunda, saya dikejutkan oleh pertanyaan seorang pesertanya, bahwa tidak mungkin masyarakat Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha di masa lampaunya, yang melahirkan puluhan ceritera pantun itu, sebab masyarakat Sunda sejak awal mula telah memeluk agama Islam.

Mengapa sampai muncul pengetahuan semacam itu? Kenangan terhadap agama Hindu-Budha yang pernah mendirikan kerajaan-kerajaan di tanah Pasundan ini, dan berlangsung  paling lama di Indonesia, dengan runtuhnya Pajajaran pada tahun 1575, sementara Majapahit telah lebih dahulu runtuh sekitar tahun 1525, bahkan ada yang menyatakan tahun 1400, amat tipis dan hilang begitu saja dalam ingatan masyarakatnya. Tentu saja ini hanya berlaku bagi mereka yang hidup di pedesaan dan tidak mendapat pendidikan modern yang mengajarkan sejarah modern Indonesia.

Nasib kebudayaan Hindu-Budha di Jawa-Barat mirip dengan kerajaan-kerajaan Budha di Sumatra. Kebudayaan Hindu-Budha tidak meninggalkan bekas yang berarti dalam sistem pengetahuan masyarakatnya, yang berbeda dengan masyarakat Jawa dan Bali. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Pasundan, meskipun berlangsung lebih dari satu millennium, adalah kerajaan-kerajaan yang menguasai masyarakat peladang. Mereka ini, pada zaman VOC di Jawa Barat, sering disebut “orang Jawa gunung” yang dibedakan dengan “orang Jawa sawah”.

Dalam masyarakat Jawa, sistem ekonomi persawahan yang berkembang subur di dataran-dataran rendah, adalah masyarakat yang disatukan dalam pemahaman lokalitas. Orang-orang sawah adalah masyarakat kolektif besar. Mereka membuka hutan untuk dijadikan tanah persawahan secara gotong-royong dan mengelola tanahnya secara gotong-royong pula akibat sistem pengairan irigasi sawahnya. Inilah sebabnya ceritera tentang pembuatan bendungan-bendungan di masa kerajaan-kerajaan di Jawa Timur sering terjadi.

Dalam masyarakat sawah, tersedianya lahan persawahan yang semakin luas menuntut adanya tenaga manusia yang banyak (banyak anak banyak rejeki), sehingga kondisi demikian yang dihubungkan dengan pengaturan irigasi, memerlukan adanya satu kekuasaan yang kuat yang ditaati oleh seluruh penduduknya. Kekuasaan otoritarian semacam itu adalah kebutuhan mutlak masyarakatnya. Munculnya faham dewa-raja di masyarakat Jawa menggambarkan pentingnya kekuasaan mutlak yang ditaati oleh seluruh penduduknya. Hubungan pusat yang mutlak dengan daerah-daerah yang tersebar luas membangun jarring-jaring hirarkis dari hulu sampai hilir. Apa yang dipikirkan di atas akan sampai di lapisan paling bawah. Inilah sebabnya pikiran-pikiran Hindu-Budha di pusat kerajaan dapat mengakar sampai di lapisan bawah, kendati pun elit penguasanya telah lama lenyap.

Agama Hindu-Budha yang ritualistik dan sedikit banyak mengembangkan mistisisme Hindu-Budha-Tantra masih cukup kuat  ketika agama Islam tersebar di Jawa, bahkan di zaman modern ini. Kondisi ini, kalau dihubungkan dengan agama Katolik yang juga penuh ritual dan sakremen-sakramen, lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang persawahan ini. Kalau daerah Muntilan, dimana Bapak Doewe pernah sekolah guru (meski tidak selesai), sebagai pusat penyebaran Katolisisme pada awal abad 20, tidak terlalu mengherankan dilihat dari cara pandang budayanya. Daerah Magelang dan Jogyakarta adalah daerah-daerah tua tempat berdirinya kerajaan-kerajaan pertanian besar, sejak zaman Mataram Hindu sampai Mataram Islam.

Di tanah Pasundan, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha-Tantra hanya bersawah di sekitar pusat kekuasaan, sedangkan sebagian besar penduduknya hidup dari berladang-berpindah. Meskipun terdapat hierarki kekuasaan juga dari pusat ke daerah-daerah, seperti disebutkan dalam kitab Siksa Kandang Karesian (1518), namun daerah-daerah peladang yang semi mobile itu tak mungkin menjalin hubungan permanen dan menetap dari alam pikiran pusat-pusat kekuasaan. Inilah sebabnya alam pikiran primordial Sunda peladang terus hidup dengan sentuhan Hindu-Budha yang amat tipis. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Sunda ini runtuh, maka ikut lenyaplah kebudayaan Hindu-Sundanya. Kenangan terhadap kejayaan Hindu-Sunda amat tipis, yang sebagian masih tersisa dalam berbagai ceritera pantun Sunda. Meskipun demikian rakyat Sunda menilai bukan bersifat Hindu tetapi Sunda, atau bahkan Islam. Dalam banyak rajah (mantra) pantun doa-doa Islam banyak masuk di dalamnya.

Tersebarnya agama Islam di Pasundan dilakukan oleh para ulamanya dengan dakwah sampai ke pelosok-pelosok desa peladangnya. Hal ini tidak terjadi pada zaman Hindu-Sunda yang para pendetanya berpusat di daerah-daerah kekuasaan atau beberapa di daerah kabuyutan di perbukitan, seperti juga di Jawa.

Rakyat perdesaan Sunda memperoleh secara langsung ajaran-ajaran Islam secara mendalam sebagai peristiwa akulturasinya yang pertama. Kalau di Jawa akulturasi budaya pertama terjadi sejak zaman Hindu, dan kemudian Islam lalu modernitas. Tidak mengherankan apabila di Pasundan kenangan terhadap masa budaya Hindu-Budhanya yang demikian panjang kurang berbekas, kecuali bagi yang mempelajari sejarah modern. Kenangan itu tersimpan secara samar di pantun-pantun mereka yang masih menyebut raja-raja Pajajaran dan Galuh serta Prabu Siliwangi.

Kenangan terhadap budaya nenek moyang masa lampau ini terutama berkembang di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat yang merupakan daerah perbukitan. Sedangkan wilayah pantai utara Jawa Barat lebih mencolok budaya pesisir Islamnya. Budaya Islam pesisir ini meliputi bukan hanya Jawa Barat utara tetapi juga seluruh pesisir pulau Jawa. Daerah Bapak Doewe di Ciledug, Cirebon, masuk dalam wilayah budaya ini. Terguncangnya keluarga Bapak Doewe di kampungnya ketika beliau memeluk Katolik dapat difahami dari peta budaya ini.

Agak berbeda dengan budaya Jawa Barat selatan yang masih kuat kenangan budaya Sunda nenek moyangnya. Itulah sebabnya terdapat beberapa kantong pemeluk Kristiani sejak zaman kolonial di daerah selatan ini. Mereka ini kaum Kristen Pasundan.

Yang menarik adalah sikap budaya mereka yang menghubungkan Islam dengan Sunda. Di Sukabumi Selatan masih terdapat kampung-kampung adat yang beragama Islam di Ciptagelar. Di wilayah ini kesatuan desa terdiri dari tiga kampung besar yang dinamai kampung buhun, kampung nagara dan kampung syara. Kampung buhun mengurus adat Sunda, kampung nagara mengurus administrasi modern republik, dan kampung syara mengurus agama Islam.

Kampung buhun oleh masyarakat setempat identik dengan Nyawa dan Tekad, kampung nagara identik dengan Raga dan Ucap, sedangkan kampung syara identik dengan Pakaian dan Lampah. Inilah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai konsep Tilu Spamula, Dua Sakarupa, Hiji Eta eta Keneh.

Menilik penamaan yang demikian itu dapat ditafsirkan bahwa kampung buhun yang mengurus adat istiadat Sunda merupakan inti atau nyawa kehidupan sosialnya, sedang kampung syara yang mengurus agama Islam merupakan “pakaian” atau laku sehari-harinya, dan kampung nagara yang mengurus administrasi modern merupakan tubuh sosial dan ucapan sehari-hari. Disini unsur adat Sunda masih dominan dalam hidup budayanya. Inilah sebabnya, meskipun mereka pemeluk Islam yang teguh namun masih melakukan upacara-upacara adat Seren Taun.

Bahwa daerah Pasundan selatan masih cukup kuat kenangan dan praksis adat Sundanya, dapat disimak dari adanya berbagai kampung adat semacam itu yang masih memelihara apa yang disebut kabuyutan Sunda. Kampung kabuyutan menyimpan kuburan dan pusaka-pusaka Sunda lama yang masih amat dihormati. Bahkan kuburan-kuburan semacam itu masih diziarahi oleh umat Islam Sunda. Penghormatan akan kesundaan masih terus dipelihara sampai hari-hari ini.

Dari panorama budaya semacam ini, nampaklah bahwa varian Sunda itu cukup beragam. Terdapat berbagai lapis budaya yang berdasarkan historisitasnya masing-masing. Secara umum ada empat lapis budaya, yakni budaya Sunda buhun yang merupakan genius lokalnya yang peladang, kemudian samar-samar budaya Hindu-Budha-Sunda, dan yang paling kuat adalah budaya Islamnya, dan budaya modern.

Di beberapa wilayah perdesaan selatan Nampak lapis budaya primordial Sunda, kehinduan dan Islam yang cukup kuat. Di wilayah Jawa Barat utara lebih kuat lapisan Islamnya. Dan di perkotaan budaya Islam dan modern cukup kuat. Secara kasar dapat disebutkan varian budaya Sunda sebagai berikut: Sunda-Islam, Sunda murni (Baduy), Sunda-Islam-modern, Islam murni, Islam-modern, Sunda-Hindu-Islam-modern di perkotaan besar.

Kekristenan sebagai bagian dari modernitas tentu lebih mudah difahami dalam lapis budaya Sunda-Islam-modern, Sunda-Islam, Sunda-Hindu-Islam-modern, dan Sunda murni, akan memahami Kekristenan kalau mendasarkan diri pada budaya Sundanya. Dengan demikian menggereja di tanah Sunda tidak dapat dipukul rata dengan cara yang sama. Namun bagaimana pun kebudayaan Sunda buhun menjadi pijakan penting yang umum bagi hidup menggereja di tanah ini, karena pada dasarnya masyarakat Sunda amat mencintai budaya leluhurnya dan berupaya untuk memeliharanya sampai sekarang.

Kepedulian Gereja atas budaya Sunda buhun sekurang-kurangnya akan mengurangi keterasingan Gereja di tengah masyarakat muslim yang kuat ini. Apalagi masyarakat Sunda memiliki mekanisme perubahan dalam budayanya. Hal ini nampak dalam masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy yang kukuh memegang adat buhun, tidak mau berubah, membuka warganya untuk berubah. Yang mengukuhi adat buhun disebut Baduy Dalam, dan yang berubah Baduy Luar. Ketika perubahan terus terjadi, maka yang Baduy Luar terbagi menjadi Panamping dan Dangka (paling luar dan biasanya sudah memeluk Islam). Yang asli dan yang berubah  dihubungkan oleh Panamping yang bertindak sebagai mediasi.

Dibaca secara Sunda keseluruhan, mekanisme ini tetap dijalankan. Suku Baduy adalah Sunda Dalam yang tak berubah. Sedang masyarakat Sunda umumnya adalah Sunda yang berubah. Penengannya adalah masyarakat adat seperti di Ciptagelar, Kampung Naga, dan berbagai kampung adat yang lain di seluruh Jawa Barat.

Melihat gejala ini, masyarakat Sunda adalah terbuka, yang mangatur dirinya dalam tiga entitas berbeda, yakni yang tak mau berubah dan berubah terus menerus. Karena ada “penengah” maka yang berubah ini juga tak meninggalkan sama sekali kebuhunannya.

Kekristenan sebagai sesuatu yang asing memang diterima, tetapi tetap kategori “luar”. Yang luar ini akan diperhitungkan sebagai bagian dari “dalam” kalau ada mediasinya. Dan mediasi itu tak lain adalah Katolik-Sunda itu. Apapun bentuknya.

Gereja Katolik di Pasundan harus mulai peduli kepada masyarakat dan budaya Sunda-Islam ini. Keasingan dalam iman dapat dijembatani lewat kebudayaan lokalnya. Namun jembatan penghubung ini bermacam ragam bentuknya. Perkotaan berbeda dengan perdesaan, entah tingkat desa, kecamatan atau kabupaten. Yang di kota pun juga berbeda dengan yang lingkungan elit dan menengah serta perkampungan. Masyarakat perkampungan kota kadang lebih sulit dari pada perdesaan.

Masyarakat Sunda yang Katolik tentu berperan lebih besar dalam mediasi asal ketercerabutan dari akar budayanya dipulihkan, karena merekalah pemilik kebudayaan Sunda yang otentik. Berbeda dengan Katolik Jawa yang mampu “menjawakan” Katoliknya, di Sunda sintesa semacam itu bukan bakat budayanya. Pembedaan dan pemisahan tetap dilakukan, dan yang diperlukan adalah “dunia tengah” yang mengandung hakikat “dalam” dan “luar”. Perantara, penghubung, jembatan atau dunia tengah semacam ini dapat konkrit maupun abstrak. Dan dunia tengah itu adalah kesundaan, bahkan keislaman.

(Prof. Jakob Sumardjo: Lahir di Klaten 1939, budayawan, kolumnis, dosen di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Ia menulis sekurangnya 12 judul buku, antara lain Sastra dan Masyarakat Indonesia (1979); Segi Sosiologis Novel Indonesia (1980); Arkeologi Budaya Indonesia (2002). Tulisannya tersebar di banyak media seperti KOMPAS,  Pikiran Rakyat, Prisma, Basis, Horison.)

 

Jumat, 11 Juli 2008

Catatan Si Anak Bungsu.


Kenangan Indah Ibu dan Bapak

Namaku Theresia Soestiati. Umurku 66 tahun. Aku anak ke- 5 dari Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra dan Ibu Raden Ayu Yohana Soemartilah. Bapak dan ibu memanggilku dengan sebutan Utik. Sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, 2 perempuan dan 3 laki-laki, aku punya banyak cerita yang aku alami bersama bapak dan ibuku. Jarak usiaku dengan kakak laki-laki  no 4 adalah 4 tahun. Kakak lebih banyak tinggal bersama nenek, tidak serumah di Jati Seeng, Ciledug – Cirebon. Maka aku merasa seperti anak tunggal saja.

Yang selalu aku ingat dari bapak adalah seorang yang sangat sederhana dalam gaya hidup dan jalan berpikir. Cara bicaranya spontan tanpa basa-basi. Lebih tepat kalau disebut apa adanya. Yang sangat menonjol dari sikap dan sifat bapak adalah ketaatannya pada agama. Beliau selalu berpegang teguh pada prinsip yang diyakininya. Sebagai contoh, beliau meyakini bahwa bila seorang laki-laki sudah menikah, dia harus bersedia meninggalkan ibunya untuk bersatu dengan istri yang dipilihnya. Bapak rela meninggalkan ibunya yang sudah menjanda, demi cintanya untuk ibuku. Walaupun akhirnya nenek pindah juga ke dekat rumah kami, setelah kakakku yang biasa menemani nenek pindah ke Cirebon untuk sekolah.

Sebagai anak tunggal, bapakku sebetulnya punya sifat egois, manja, keras kepala dan terlalu yakin akan prinsip hidupnya. Aku menyadari bahwa kami mempunyai sifat yang sama. Kami merasa sangat cocok satu sama lain. Kami bisa saling support, berkompromi, dan bahkan saling memanfaatkan. Tapi di sisi lain, bapak punya sifat yang juga menonjol, yaitu murah hati, tidak sombong, mudah terharu, dan tidak tegaan. Sampai-sampai sering ditipu dan dimanfaatkan orang yang bermaksud tidak baik. Anehnya bapak tetap mau menolong dan membantu orang-orang yang sudah menipunya. Dengan alasan klise, kasihan!

Ibuku seorang perempuan Jawa yang sangat sederhana, tidak neko-neko. Yang memberikan kesan sangat mendalam bagiku bahwa ibu adalah seorang yang penuh cinta kasih pada anak-anaknya. Walaupun kata orang lain cintanya lebih banyak porsinya untukku, tapi aku tahu bahwa ibu selalu memberikan porsi yang sama untuk kami semua.

Cinta kasih bapak ibuku tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi terasa sangat mendalam di dalam hati. Sederhana tapi dasyat. Hubungat kami bertiga betul-betul indah. Tanpa perlu berkata-kata, kami bisa saling menyatakan dan saling merasakan bahwa kami mempunyai cinta yang dalam. Sampai-sampai terdengar komentar orang,” Kapan sih Bapak tidak menurut dengan Utik?” Tapi ini semua tidak membuatku jadi sombong dan besar kepala. Justru membuatku makin menghormati bapak dan ibuku.

Sebagai manusia biasa bapak dan ibuku seringkali berbeda pendapat, berselisih, karena perbedaan kebiasaan dan budaya. Bapak dari suku Sunda dan ibu dari suku Jawa. Ada saja yang bisa menjadi bahan pertengkaran. Aku yang ada di tengah - tengah mereka sering menjadi rebutan untuk menjadi sekutu. Sampai – sampai untuk urusan menemani tidurpun, aku jadi rebutan. Tapi ini yang akhirnya aku jadikan cara untuk mendamaikan mereka. Aku katakan kalo mereka tidak mau berdamai, lebih baik aku yang pergi. Karena aku tidak bisa memilih satu di antara mereka. Rupanya caraku ini berhasil, mereka mau berdamai karena mereka takut kehilangan aku.

Dengan bertambahnya usia bapak dan ibu, mereka jadi sering sakit-sakitan. Apalagi dengan penyakit asma yang mereka berdua derita. Beberapa kali mereka harus dirawat di rumah sakit. Bapak punya terapi untuk diri sendiri yang mujarab. Yaitu dengan mengajar agama. Asma bapak reda bila bapak mengajar agama dan bertemu dengan murid – muridnya yang ingin dibaptis. Ada cerita, ada seorang bapak yang agak tua, hanya mau diajar agama oleh bapak, tidak mau dengan yang lain. Ternyata bapak tua tadi sudah agak rabun matanya, sehingga bila membaca harus menggunakan kaca pembesar. Kemampuan untuk menghafal doa-doa juga sudah berkurang. Hanya bapak yang bisa memaklumi kondisinya. Ini juga yang menjadikan bapak terinspirasi untuk menulis sendiri doa-doa lengkap dengan bahasa Indonesia dan pelajaran-pelajaran agama  dengan tulisan tangan yang besar-besar agar mudah dibaca oleh murid-murid calon baptisya.

Di Jatiseeng – Ciledug, setiap perayaan Natal, Paskah, maupun Tahun Baru, rumah kamilah yang selalu dijadikan tempat untuk berkumpul. Kebetulan rumah kami cukup besar untuk menampung banyak orang. Kami sudah merasa seperti saudara sendiri antar sesama umat Katolik yang ada di Ciledug. Bapak ibu sudah dianggap sebagai bapak ibu mereka, menerima mereka tanpa perbedaan. Kami semua dipersatukan dalam cinta.

Bapak ibu hanya orang desa, tapi pengetahuan dan ilmu mereka bisa ditandingkan dengan orang kota. Cara berpikir mereka cukup modern. Banyak pedoman-pedoman hidup yang diajarkan oleh mereka masih aku terapkan dan bahkan aku ajarkan juga kepada anak-anak dan cucu-cucuku. Sejak kecil aku diajari untuk selalu membaca doa pagi, doa malam, doa sebelum dan sesudah makan, doa dalam perjalanan, dan doa-doa spontan dalam bahasa yang sangat sederhana. Dan itu masih terus aku lakukan sampai usiaku sekarang ini. Bapak ibu mengajarkan bahwa inti dari doa kami adalah:

1.   bersyukur dan berterima kasih atas karuniaNya.

2.   mohon ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan.

3.   mohon selalu dilindungi, dibimbing dan diberkati.

4.   berserah diri dengan penuh iman dan harapan kepadaNya.

Karena hanya Tuhan lah Allah segalanya yang bisa mengabulkan apapun permohonan manusia. BagiNya tidak ada yang tak mungkin.

Ajaran bapak ibu yang selalu kuingat dan sangat tertanam dalam hati adalah bahwa Tuhan bersabda : “Jika engkau hendak menyenangkan Daku, percayalah kepadaKu. Jika engkau hendak lebih menyenangkan Daku, berharaplah padaKu selalu.” Ini yang menjadi modal dan bekal hidupku sampai di usiaku sekarang ini, selanjutnya sampai tiba ajalku nanti.

Aku selalu bersyukur, bangga, dan bahagia mempunyai orang tua seperti bapak dan ibu yang selalu ada untukku dengan segenap cinta mereka. Semoga akupun bisa menjadi ibu dan nenek yang punya segudang cinta untuk anak-anak dan cucu-cucuku.

Keterangan Foto:

Sebagian keluarga Bapak Doewe. Bapak yang berdiri adalah saudara jauh dari Ibu Doewe. Ketiga anak laki - laki adalah (dari kiri ke kanan) :

Joseph Soesanto (anak ke - 3)
Johanes Soeseno (anak ke - 2)
F.X. Soesmoyo (anak ke -4)

Rabu, 28 Mei 2008

Riwayat PAK DOEWE.



IN MEMORIAM BAPAK LUDOVICUS DOEWE PRAWIRADISASTRA

I

Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra, yang dilahirkan pada tanggal                 7 November 1907 di desa Jatiseeng, Cileduk adalah seorang putra tunggal dari pasangan Bapak Sakim Sastrabangsa dengan Ibu Sarpit.  Bapak Sakim adalah Kuwu (Kepala Desa) Cigobang, sedang Ibu Sarpit adalah anak kedua Bapak/Ibu Maskat, salah seorang pemuka masyarakat desa Jatiseeng.

Saat kelahirannya, Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra diberi nama Doewe (baca Duwe).  Ludovicus adalah nama baptis pada setelah beliau memeluk agama Katolik, sedang Prawiradisastra adalah nama tambahan sesuai adat pada saat setelah menikah.

Dalam kehidupan masa remaja, sebagai seorang anak Kuwu, Bapak Doewe dapat menikmati pendidikan HIS dan MULO di kota Bandung, bersama dengan para putra “Pejabat Pribumi” lain, termasuk pendidikan tata santun kehidupan eksklusif Barat yang berlaku saat itu bagi para remaja Pribumi.   Konon, Bapak/Ibu Sakim sangat menginginkan anak tunggalnya melanjutkan pendidikannya ke MOSVIA, dengan harapan di kelak kemudian hari dapat menduduki jabatan di lingkungan kepamongprajaan (Wedana dan atau pejabat lain setingkat).  Namun Bapak Doewe lebih tertarik ke bidang pendidikan.

Di sisi lain, pertemuannya dengan onderwijzer HIS, Bapak Thomas Aquino Martomo telah membuahkan rasa ketertarikkannya kepada ajaran agama Katolik.  Dengan alasan dari ketertarikannya kepada agama Katolik itulah, maka Bapak Th. Martomo menyarankan agar Bapak Doewe melanjutkan pendidikan di Yogyakarta,  di lingkungan para Pastur Yesuit.  Demikianlah pada akhirnya Bapak Doewe dibaptis setelah memperoleh izin dari orang tuanya untuk memeluk agama Katolik.  Nama baptis yang dipilihnya adalah Ludovicus.  Selanjutnya dari kedekatannya dengan Bapak Thomas Aquino Martomo pulalah yang telah mempertemukannya dengan salah seorang putri dari kerabat keraton Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Yohana Soemartilah, yang juga adik ipar Bapak Th. Martomo, yang masih bersekolah di Susteran Mendut.  Akhirnya setelah melangsungkan perkawinan Gerejawi, pada tahun 1931 Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra memboyong Ibu R.A. Y. Soemartilah ke Jatiseeng, berikut tekad misionarisnya untuk mengembangkan agama Katolik di desa kelahirannya. 

II

Kepulangan Bapak Doewe yang telah memeluk agama Katolik dengan istri berasal dari kerabat Keraton Yogyakarta yang juga beragama Katolik sempat mengguncang kerukunan kekerabatan warga desa Cigobang yang beragama Islam, yang pada hakekatnya masih merupakan para saudara sepupu dari garis keturunan Bapak Sakim.  Demikian pula reaksi negatif datang dari kerabat Jatiseeng dari garis keturunan Ibu Sarpit.

Namun satu hal yang membanggakan Bapak Doewe adalah bahwa kedua orang tuanya sangat memahami segala apa yang menjadi pilihan hidupnya.  Pilihan pendidikan, pilihan pasangan hidup, bahkan pilihan keyakinan yang berbeda dengan seluruh kerabatnya, tidak melunturkan segala kasih sayang hubungan orang tua – anak. Bapak Sakim penuh dengan segala kearifan dan kebijakan dalam kepemimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga, maupun sebagai Kuwu desa Cigobang, yang warganya sempat terguncang saat melihat kenyataan bahwa putra tunggal Kepala desanya yang sangat disayangi dan dihormati telah memeluk agama Katolik.

Segala kearifan dan kebijakan Bapak Sakim terhadap warga desanya yang sebagian besar terdiri dari satu garis keturunan yang sama, telah menumbuhkan rasa kagum dan hormat para pemuka-pemuka masyarakat Cigobang.  Karena itu pulalah, warga Cigobang merasa sangat kehilangan saat Bapak Sakim mengajukan izin cuti dari jabatan Kuwu karena kesehatannya dan akhirnya meninggal pada tahun 1940 1).  Sejak itu Bapak Sakim memperoleh sebutan Kuwu Perlop (Verlof) yang kedengarannya seperti perlot dan karenanya sampai sekarang warga sesepuh desa Cigobang mengenal Bapak Sakim sebagai Bapak Perlot.  Kearifan dan kebijakan ini diyakini kemudian diwarisi oleh Bapak Doewe, dimana tanpa bosan-bosannya, secara teratur dan berkesinambungan Bapak Doewe menyambangi segenap kerabatnya di Cigobang, saat mengunjungi Ibunya.  Segala kearifan dan kebijakannya inilah akhirnya meluluhkan sikap penolakan warga Cigobang pada Bapak Doewe.

Demikian pula berkat kearifan dan kebijakan serta kesabaran yang tanpa putus, reaksi negatif dari kerabat Jatiseengpun mulai terpupus. 

 

 

1) Menurut penuturan Bapak Doewe, beliau sempat membaptis Bapak Sakim, atas permintaannya,

sesaat sebelum meninggal.  Hal ini yang menjadi kebanggaan Bapak Doewe.  Sepeninggal Bapak Sakim, Ibu Sarpit tetap berdomisili di desa Cigobang hingga tahun 50 – an, kemudian pindah ke desa Jatiseeng.  Ibu Sarpit yang dijuluki Ibu Kuwu Perlot tetap sangat dihormati segenap warga desa Cigobang sebagai tokoh  panutan sampai akhir hayatnya pada tahun 1956.  Sama halnya dengan Bapak Sakim, Ibu Sarpit dibaptis pada saat sebelum meninggal.  Suatu kebanggaan yang tiada taranya, dimana kedua orang tuanya   pada akhirnya telah dibaptiskan secara Katolik.

III

Ketertarikannya di bidang pendidikan dan kebulatan tekadnya untuk mengembangkan agama Katolik di Jatiseeng terus membayangi dan mewarnai seluruh kehidupan Bapak Doewe sejak kepindahannya dari Yogyakarta ke Jatiseeng.  Sebagian besar waktu keluarga banyak tersita untuk kegiatan konsultasi baik dengan para tokoh agama Katolik maupun tokoh bidang pendidikan yang berada di Yogyakarta dan atau kota-kota lainnya di Jawa Tengah.

Sebenarnyalah keberadaan keluarga Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra di Jatiseeng saat itu (1931) merupakan keluarga Katolik satu-satunya dan yang pertama kali ada di desa Jatiseeng, Cileduk.  Walaupun demikian, Bapak Doewe tetap tegar, baik dalam doa maupun dalam tindak.

Ketertarikannya di bidang pendidikan telah dibuktikan dengan berdirinya sekolah yang bernama “Excelsior School” yang letaknya di samping rumah kediaman Bapak L. Doewe untuk masyarakat pribumi berminat.  Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan para onderwijzer nya didatangkan dari berbagai kota di Jawa Tengah.  Namun kedatangan Jepang pada tahun 1942, telah memaksa Excelsior School untuk segera membubarkan diri sebelum berurusan serius dengan bala tentara Jepang.

Sedang tekadnya untuk menyebarkan agama Katolik di desa Jatiseeng, tidak pernah lekang oleh halang rintang apapun.  Ketiadaan buku doa berbahasa Indonesia apalagi bahasa Sunda, justru telah memberi semangat baru untuk menterjemahkan buku-buku doa dari bahasa Belanda dan atau bahasa Jawa, ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, yang ditulis dengan tulisan tangan.  Satu-satunya kendala yang sering merintangi kelancaran aktivitasnya adalah Asma.  Namun sering pula keluarga terperangah, ketika menyaksikan kondisi beliau yang tampak segar bugar, penuh keceriaan, saat mengajarkan agama kepada para simpatisan yang datang ke kediaman, padahal beberapa saat sebelumnya serangan asmanya cukup berat.

Mengajar agama yang sering berlangsung sampai berjam-jam baik di kediaman maupun di rumah simpatisan benar-benar sangat beliau nikmati.  Tiada hari tanpa mengajar agama.  Sungguh luar biasa  !

Hasilnya, secara perlahan namun terus mengalir dimana para simpatisan yang umumnya dari masyarakat keturunan Tionghoa dibaptiskan dan karenanya keluarga Bapak Doewe sudah bukan lagi satu-satunya keluarga Katolik di desa Jatiseeng – Cileduk.  

Dalam hal tekad dan cita-cita pengembangan agama Katolik yang sementara itu telah menunjukkan keberadaan sejumlah simpatisan yang telah dibaptis memberikan harapan akan lahirnya tekad dan cita-cita  baru, yaitu membangun sebuah Gereja di Jatiseeng.  Suatu hal yang sangat sulit untuk diwujudkan saat itu.

Bagi para warga Katolik  Jatiseeng dan Cileduk, tiada pilihan lain yang lebih dekat kecuali ke Gereja Cirebon yang jaraknya sekitar 30 Km, manakala ingin mengikuti Misa Kudus.  Inilah suatu uji ketabahan bagi para warga Katolik baru di wilayah Jatiseeng dan Cileduk.

Segala aktivitas Bapak Doewe di desa Jatiseeng, Cileduk dalam penyebaran agama Katolik yang telah membuahkan hasil, terpantau, terekam di Paroki Cirebon berlanjut ke Keuskupan Bandung dan terlaporkan ke Vatikan.  Segala pelaporan diyakini terterima baik, yang karenanya pada Nopember 1953 terbit keputusan Vatikan untuk memberikan tanda penghargaan kepada Bapak Doewe berupa Penghargaan Salib Augusta, PRO ECCLESIA ET PONTIFICE yang penganugrahannya akan dilaksanakan di Keuskupan Bandung pada bulan Juni 1954.

Seiring dengan kebahagiaan atas penghargaan dari Paus sebagai Pimpinan Tertinggi Umat Katolik sedunia, pada 2 hari menjelang uapacara penganugrahan, anaknya nomer 4 dirawat di RS. Borromeus dalam kondisi kritis, akibat alergi kina yang telah menyebabkan pendarahan yang tak dapat membeku 2).  Inilah suatu cobaan yang harus beliau atasi dalam kepatuhan dan ketaatannya kepada keagungan Tuhan.  Demikianlah pada saatnya, upacara penganungrahan penghargaan berlangsung sebagaimana direncanakan, dan masa kritis putranya dapat terlewati.

 

 

 

2) Putra-putri Bapak Doewe tercatat 5 orang yaitu  2 orang putri dan 3 orang putra.  Dari penuturan Bapak Doewe, kekaguman dan kecintaannya atas Yohanes, Maria dan Josef telah diwujudkan dalam pilihan nama Baptis bagi putra-putrinya.  Itulah sebabnya anak laki-laki yang no. 3 sekalipun dilahirkan pada tanggal 3 Desember yang nota bene merupakan hari raya Santo Franciscus Xaverius tidak dipilih sebagai nama Baptisnya.  Pilihan jatuh pada Josef, Karena Yohanes telah digunakan putranya terdahulu. 

IV 

Kecintaan Bapak Doewe pada dunia pendidikan ternyata tidak pernah luntur seiring dengan kecintaannya mengajarkan agama Katolik.  Melalui berbagai ragam cara,  sejak Excelsior School bubar beliau terus berupaya untuk dapat berdiri kembali di depan kelas suatu sekolah resmi.  Hanya berkat ketekunan, kegigihan yang tidak pernah menyerah, maka akhirnya pada tahun 1950 beliau berhasil mewujudkan cita-citanya berkat jasa baik dan bantuan Yayasan Salib Suci Bandung dan Mgr Arnts (Uskup Agung berkedudukan di Bandung), yaitu berpindahnya ruang-ruang kelas sekolah yang semula berada di pendopo rumah kediaman beliau, beralih ke ruang-ruang kelas suatu gedung sekolah yang berdiri di atas lahan orang tua Bapak Doewe yang telah dihibahkan kepada Yayasan Salib Suci.  Sekolah yang diberi nama Santo Thomas membuka kelas Taman Kanak-kanak dan kelas-kelas tingkat dasar.  Kemudian dalam perkembangannya, Sekolah Santo Thomas mencakup sampai tingkat SMP, hingga sekarang.

Di sisi lain, seiring pula dengan telah berdirinya Sekolah Santo Thomas, dengan melalui berbagai prosedur perizinan dalam berbagai ragam tingkat kesulitan, Perayaan Ekaristi/Misa Kudus dapat diselenggarakan di Jatiseeng pada setiap hari Minggu dan hari-hari Natal serta Paskah, dengan menggambil tempat di suatu ruangan kelas.  Suatu embrio berdirinya Gereja Katolik di Jatiseeng.

Demikianlah warga Katolik Jatiseeng dan Cileduk selain dapat menyekolahkan anak cucunya di Sekolah Katolik “Santo Thomas”, juga dapat mengikuti Misa Kudus pada tiap hari Minggu bersama Pastur yang datang dari Cirebon.

Kekerabatan warga Katolik Jatiseeng Cileduk dalam kegiatan keagamaan di luar kegiatan sakramen, masih banyak terpusat pada figur Bapak Doewe yang selama ini masih merupakan tokoh panutan.  Demikian pula pada tiap perayaan-perayaan Natal dan Paskah pada setelah selesai upacara Gereja, selalu berkumpul bersama di kediaman Bapak Doewe menikmati hidangan yang disediakan bersama, bergotong royong baik dalam dana maupun tenaga.  Inilah ciri khas keakraban kekerabatan warga Katolik Jatiseeng, Cileduk.

Anak-anak remaja yang bersekolah di luar kota, pada hari-hari Natal dan Paskah selalu pulang ke Jatiseeng, Cileduk untuk merayakannya bersama orang tuanya, bersama seluruh kerabat warga Katolik Jatiseeng dan Cileduk di “Gereja ruang kelas”.  Berkumpul bersama di kediaman Bapak Doewe untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman hidup.

  Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra meninggal pada tanggal 3 Juni 1966 di kediamaannya di Jatiseeng 3).   Sekalipun  beliau telah tiada, namun cita-cita beliau akan berdirinya suatu Gereja Katolik di Jatiseeng terus bergulir dari waktu ke waktu dan akhirnya pada tahun 1971 berkat doa dan jasa baik seluruh warga Katolik di Jatiseeng, Cileduk, Cirebon dan Keuskupan Bandung serta atas kehendak Yang Maha Kuasa telah berdiri suatu bangunan Gereja Katolik di Jatiseeng di lingkungan Sekolah Santo Thomas.

Sekilas kenangan Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra yang telah membawa Agama Katolik ke desa Jatiseeng, berikut cita-cita membangun Gereja Katolik yang kemudian terwujud beberapa tahun setelah beliau tiada, yang merintis keberadaan Sekolah Katolik Santo Thomas bagi segenap warga Katolik Jatiseeng khususnya dan warga lain berminat pada umumnya,  merupakan suatu rekaman historis yang indah bagi segenap kerabat keturunan Bapak Doewe, bagi segenap kerabat keturunan umat Katolik Jatiseeng, Cileduk dan bagi  yang berkenan secara khusus mengenangnya. 

 

Jakarta,    Juli  2006 

Frans Soesmoyo


Putra - putri Bapak Doewe adalah sbb :
1. Maria Soesilah (Ny. Moedjihardjo)
2. Johanes Soeseno
3. Joseph Soesanto
4. F.X. Soesmoyo
5. Theresia Soestiati

Bapak Doewe dibaptis di Jogjakarta pada tanggal 25 Mei 1927.