Selasa, 01 Desember 2009

Gereja Katolik Ciledug.

STASI SANTA THERESIA CILEDUG

DULU, KINI DAN ESOK

Stasi Santa Theresia Ciledug, Paroki Bunda Maria Cirebon adalah salah satu stasi yang cukup tua dalam perjalanan Gereja di Keuskupan Bandung. Bahkan sudah sejak lama stasi ini sudah memiliki buku administrasi sendiri, terutama untuk baptis dan perkawinan. Stasi yang sebenarnya dulu dipersiapkan untuk menjadi sebuah Paroki. Perjalanan menggereja di Stasi Santa Theresia Ciledug tidak dapat dilepaskan dari dua orang tokoh yang selalu lekat dan menjadi semangat dalam kehidupan menggereja di Stasi ini. Tokoh yang pertama adalah Bapak Lodevicus Douwe dan yang kedua adalah Pst. Van der Pol, OSC. Roh dari kedua tokoh inilah yang sampai sekarang masih bergema dalam hati umat di Stasi Ciledug.

Bapak Lodevicus Douwe

Awal masuk ke Paroki Bunda Maria, khususnya stasi St. Theresia Ciledug, adalah membereskan tanah hibah seluas 12.000M2 dari keluarga Douwe kepada keuskupan Bandung. Hal ini adalah suatu yang luar biasa. Kerelaan keluarga besar untuk menghibahkan tanah kepada Keuskupan tentu tak lepas dari semangat hidup Bapak Douwe dalam perjalanan imannya. Bapak Douwe meletakkan dasar iman yang sungguh luar biasa bagi umat di Stasi Ciledug, kompleks sekolah Santo Thomas yang telah menghasilkan banyak tokoh dalam masyarakat dan Gereja adalah salah satu bukti nyata beliau dalam karya pewartaan cinta kasih Kristus. Lewat sekolah beliau bukan hanya menaburkan ilmu, tetapi juga menaburkan iman. Benih yang beliau taburkan, kini telah tumbuh, berkembang dan menghasilkan buah nyata.

Bapak Lodevicus Douwe adalah orang Sunda pertama yang menjadi katolik. Beliau lahir tahun 1907 di desa Cigobang, Kecamatan Cirebon. Pada masa beliau pendidikan menjadi barang yang langka. Beruntunglah beliau sebagai anak lurah dan tuan tanah yang kaya sehingga beliau dapat melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah, beliau mulai berkenalan dengan Kristus lewat seorang pastor Belanda. Di Yogyakarta ini pulalah beliau menemukan tambatan hati dan menerima sakramen perkawinan. Bapak Doewe setelah menikah hijrah ke Ciledug. Di Ciledug inilah Bapak Douwe mendirikan sekolah Excelsior School. Mulai saat itulah iman katolik di Stasi Ciledug semakin tumbuh dan berkembang, walaupun untuk merayakan ekaristi mereka masih harus ke Cirebon.

Akan tetapi, jaman terus berubah. Jepang datang ke Indonesia. Pada masa pendudukan jepang ini sekolah harus ditutup. Baru pada tahun 1952 sekolah ini dibuka kembali, yaitu sekolah rakyat yang sampai saat ini dikenal dengan sekolah Santo Thomas. Sejak saat itu pula pelayanan sakramen ekaristi dimulai dan dilakukan di rumah-rumah umat karena belum memiliki gedung gereja. Perkembangan sekolah Santo Thomas tidak hanya berhenti pada sekolah rakyat, pada tahun 1958 dibangunlah Sekolah Menengah Pertama. Dan pada tahun 1971 di Stasi St. Theresia Ciledug dibangunlah Gereja di tanah milik keluarga Douwe.

Tidak heran kalau sampai saat ini nama Bapak Doewe selalu lekat di hati umat St. Theresia Ciledug. Banyak hal yang telah beliau buat. Lebih-lebih lewat sekolah yang beliau dirikan beliau telah menaburkan benih-benih iman akan Kristus bagi umat di Stasi Ciledug. Benih yang beliau tabur telah tumbuh dan berkembang dan menghasilkan buah yang berkelimpahan. Hal ini dapat dilihat dengan semakin tumbuh dan berkembangnya kehidupan menggereja di Stasi St. Theresia Ciledug. Bapak Douwe telah memberikan warisan yang sungguh luar biasa bagi Gereja. Komplek Sekolah St. Thomas yang sekarang dikelola oleh Yayasan Salib Suci adalah salah satu warisan beliau. Melalui kompleks sekolah ini benih-benih iman akan Kristus ditaburkan dan kapandaian dan ilmu dibagikan. Melalui Gereja yang dibangun di atas tanah beliau, iman dan kepercayaan akan Kristus bagi umat di Stasi St. Theresia Ciledug semakin tumbuh dan berkembang.

Pastor Van der Pol, OSC

Nama Pastor Van der Pol, OSC bagi umat di stasi St. Theresia Ciledug selalu menjadi kenangan yang indah akan figur gembala yang sungguh mencintai umatnya. Maka, tidak heran kalau nama beliaupun saat ini diabadikan oleh umat Stasi St. Theresia Ciledug menjadi sebuah yayasan sosial, yaitu yayasan Van der Pol yang bergerak dalam bidang kemanusiaan dan pendidikan. Pastor Van der Pol, OSC adalah figur gembala yang mencintai umatnya, hal ini digambarkan dalam tugas dan pelayanannya khususnya untuk umat di stasi St. Theresia Ciledug. Memang tidak banyak hal yang dapat dirunut dalm sejarah pelayanan beliau di Stasi St. Theresia Ciledug. Akan tetapi, dengan adanya Yayasan Van der Pol dapat menjadi gambaran bagaimana kehadiran beliau sebagai seorang gembala selalu lekat dalam hati umat.

Kecintaan beliau diwujudkannya dalam perhatiannya untuk yang miskin dan menderita. Hal ini juga terpancara dalam kehidupan keluarga besar Pastor Van der Pol. Pada tahun 1998 keluarga besar Pastor Van der Pol di Belanda dan Belgia memberikan donasi sekitar tiga puluh enam juta rupiah untuk dibagikan kepada umat Ciledug lebih-lebih yang tidak mampu. Atas prakarsa beberapa umat dana itu lalu dikelola dan dibentuklah sebuah yayasan Van der Pol supaya dana itu dapat semakin dikembangkan dan dapat membantu semakin banyak orang. Yayasan ini menjadi ujung tombak Gereja dalam pelayanan kemanusiaan dan bantuan pendidikan bagi umat yang kurang mampu.Yayasan ini sekarang semakin tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kekayaan Gereja.

Benih yang Ditabur, Tumbuh dan Berkembang

Kehadiran dua tokoh di atas bagi umat St. Theresia Ciledug, bagaikan biji sesawi yang mati yang kini tumbuh dan berkembang. Benih-benih iman yang telah ditaburkan oleh kedua tokoh di atas selalu menjadi jiwa dan roh bagi umat di Stasi St. Theresia Ciledug. Hal ini sangat nampak dalam kehidupan menggereja saat ini. Rasa kekeluargaan yang dalam, kepedulian satu dengan yang lain menjadi gambaran akan warisan iman yang telah tumbuh dan berkembang dalam hati umat. Seperti dua tokoh di atas yang senantiasa rela untuk berbagi, demikian juga salah satu yang menonjol dalam kehidupan umat di Stasi St. Theresia Ciledug adalah kerelaan untuk berbagi satu dengan yang lain yang cukup tinggi.

Dalam perjalanan panjang kehidupan menggereja di Stasi ini benih yang semakin tumbuh dan berkembang itu juga membutuhkan pelayanan yang baik. Oleh karenanya sejak tahun 2009 ini mulailah dibentuk PGAK sebagai rekan seperjalanan bagi Dewan Pastoral Stasi dan Pastor Paroki dalam mengelola reksa Pastoral di Stasi Ciledug. Umat yang semakin tumbuh dan berkembang tentu juga menuntut sarana dan prasarana yang lebih juga. Disadari kebutuhan umat untuk mengembangkan iman sangat tinggi, akan tetapi sarana penujang kurang memadai. Oleh karenanya bersamaan dengan pembangunan kompleks sekolah St. Thomas, umat Stasi Ciledug juga mulai merancang dan merencanakan untuk membangun Pastoran dan Aula Stasi.

Stasi St. Theresia Ciledug dari segi usia memiliki sejarah yang lebih panjang dari Paroki Bunda Maria sendiri yang baru berumur lima belas tahun. Bahkan dalam hal pencatatan buku baptis dan perkawinan pun sudah dimulai lama sebelum paroki Bunda Maria berdiri. Besar harapan dengan nanti dibangunnya pastoran dan aula Stasi, Stasi St. Theresia Ciledug juga dapat dimekarkan menjadi Paroki mandiri dengan membawahi Stasi Losari dan Stasi Babakan sehingga rekasa pastoral juga dapat dilaksanakan dengan lebih baik.

(Rm. L. Bambang Gatot S. Pr )

Mengenang Bpk.L.Doewe P. (1907-1966)


Api itu Tetap Harus Menyala

Doni Koesoema A

Proses formasio intelektual dan spiritual yang dialami oleh Bapak Ludovikus Doewe Prawiradisastra (1907-1966) kiranya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kehadiran dan perjumpaannya dengan para Yesuit. Semangat Ignasian yang berkobar dalam dirinya bisa dirangkum dalam satu kalimat ini, “Api itu tetap harus menyala”. Tentu saja, bukanlah tugas yang mudah dan tidak tanpa tantangan untuk menyalakan Api cinta Kristus dalam sebuah masyarakat dan budaya yang tidak memiliki akar kristianitas seperti Sunda. Namun hidup Bapak Doewe telah menunjukkan bahwa kristianitas bisa tumbuh jika dilandasi dengan keyakinan iman yang kokoh yang terwujud melalui keteladanan hidup dan melalui karya pendidikan yang telah lama menjadi sarana bagi Gereja dalam mewartakan ajaran iman.

Mengapa pendidikan?

Bagi Bapak Doewe, pendidikan merupakan sarana yang efektif bagi penyebaran kabar gembira keselamatan Allah. Ia sendiri mengenal Kristus justru melalui banyak perjumpaannya dengan guru rohani, yaitu para imam Yesuit ketika ia mengenyam pendidikan MULO di Jogjakarta dan HIK di Muntilan. Yang lebih mengena, tentu saja, perjumpaannya yang hanya sebentar dengan Romo Van Lith yang menyisakan kesan lama dan abadi dalam dirinya tentang semangat misioner yang ditanamkan dalam dirinya.

Yesuit memang telah lama memiliki tradisi kuat dalam bidang pendidikan. Semangat misioner yang dimiliki oleh Romo Van Lith telah memberinya inspirasi untuk melanjutkan cita-cita dan karya Romo Van Lith itu dalam seluruh perjalanan hidupnya. Karena itu, begitu dia dipermandikan dan menjadi Katolik, semangat misioner itu semakin menyala dalam dirinya. Ia pun ingin meneruskan pengalaman iman perjumpaannya dengan Yesus Kristus itu melalui karya pendidikan. Ia mendedikasikan karya pendidikan itu dengan cara mendirikan Excelsior School di samping rumahnya (sekolah ini tutup ketika Jepang datang ke Indonesia), mengajar agama, dan kelak, berkat jasa baik dan bantuan Yayasan Salib Suci Bandung dan Mgr. Arnts (Uskup Agung berkedudukan di Bandung), ia mendirikan Sekolah Santo Thomas yang sampai sekarang masih melayani pendidikan dasar mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Jejak-jejak Semangat Yesuit

Menelusur kembali bagaimana jejak semangat para Yesuit dalam hidup Pak Doewe tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri. Sejak awal memang para Yesuit sangat menekankan pembaharuan kerohanian Gereja dari dalam. Karena itu, sejak semula, Serikat Yesus menekankan kerasulan pewartaan iman melalui cara berkotbah, berkatekese dan mengajar anak-anak dari kalangan kurang terdidik agar semakin mengenal Allah dan Gereja. Kepercayaan iman bahwa benih Sabda itu mesti ditanamkan dalam jiwa anak-anak sejak kecil inilah yang telah memberikan inspirasi bagi para Yesuit untuk memberikan perhatian besar pada pendidikan iman anak-anak di sekolah. Di Indonesia, semangat ini tampil hidup dalam diri Romo Van Lith. Iman akan Yesus Kristus itu hanya akan dapat dimengerti dan dikenali jika ada orang yang mewartakannya. Untuk itulah Romo Van Lith ingin mendidik orang-orang agar mampu menjadi pewarta Sabda Tuhan yang handal. Perjumpaan Bapak Doewe dengan Romo Van Lith yang hanya beberapa saat ini rupanya memiliki pengaruh yang sangat mendalam bagi hidupnya. Kecintaannya pada kegiatan mengajar, terutama memberikan pelajaran agama, baik kepada para siswa, maupun kepada para katekumen merupakan kegiatan yang dapat memberikan kegembiraan dan makna yang mendalam bagi hidupnya. Pak Doewe adalah seorang katekis dan pendidik, dan seluruh hidupnya dibaktikan untuk kegiatan pewartaan iman ini.

Budaya Sunda yang tidak memiliki akar kekatolikan tidak membuatnya surut dalam menempa diri menjadi rasul sejati bagi masyarakat di Sunda. Ia sendiri, yang setelah mengerti, memahami dan merasakan betapa berharganya iman akan Yesus Kristus bagi hidupnya, ingin juga menularkan kepada saudara-saudaranya di tanah Sunda agar mereka pun dapat mengenal kebaikan hati Allah yang telah bermurah hati dan baik dalam hidupnya.

Sebagaimana dahulu para Yesuit juga berkobar-kobar ingin menyalakan api cinta Kristus kepada semua bangsa, agar bangsa-bangsa lain yang belum mengenal Kristus dapat melihat terang daripadaNya, Pak Doewe pun juga memiliki semangat yang sama. Ia ingin, agar masyarakat Sunda pun melihat dan mengenal api cinta Kristus yang telah menyalakan bara pelayanan di dalam hatinya.

Pak Doewe telah memulai menyalakan api cinta Kristus itu pertama-tama di dalam dirinya sendiri, keluarganya, dan kemudian di dalam masyarakat Sunda. Kehidupannya menjadi berkat bagi masyarakat Sunda, dan terutama bagi Gereja. Bagaimana pun juga, jika Allah telah menghendaki, tidak ada satupun yang mustahil. Melihat pertumbuhan Gereja Katolik di tanah Sunda pada masa kini, kita patut bersyukur, bahwa api cinta Kristus yang pernah mulai dinyalakan oleh Pak Doewe melalui dunia pendidikan itu telah memiliki para penerus hidup yang akan menjadi saksi kehadiran Tuhan di tanah Sunda. Pak Doewe telah memulainya, dan kita memiliki tanggungjawab untuk meneruskan agar api itu terus menyala. Menyalakan api cinta Kristus dalam setiap hati merupakan kerinduan terdalam yang pernah dimiliki oleh Pak Doewe sebagai guru, pendidik, dan pengajar iman. (Penulis adalah Imam Yesuit, Alumnus Boston College Lynch School of Education, Amerika Serikat).