
Api itu Tetap Harus Menyala
Doni Koesoema A
Proses formasio intelektual dan spiritual yang dialami oleh Bapak Ludovikus Doewe Prawiradisastra (1907-1966) kiranya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kehadiran dan perjumpaannya dengan para Yesuit. Semangat Ignasian yang berkobar dalam dirinya bisa dirangkum dalam satu kalimat ini, “Api itu tetap harus menyala”. Tentu saja, bukanlah tugas yang mudah dan tidak tanpa tantangan untuk menyalakan Api cinta Kristus dalam sebuah masyarakat dan budaya yang tidak memiliki akar kristianitas seperti Sunda. Namun hidup Bapak Doewe telah menunjukkan bahwa kristianitas bisa tumbuh jika dilandasi dengan keyakinan iman yang kokoh yang terwujud melalui keteladanan hidup dan melalui karya pendidikan yang telah lama menjadi sarana bagi Gereja dalam mewartakan ajaran iman.
Mengapa pendidikan?
Bagi Bapak Doewe, pendidikan merupakan sarana yang efektif bagi penyebaran kabar gembira keselamatan Allah. Ia sendiri mengenal Kristus justru melalui banyak perjumpaannya dengan guru rohani, yaitu para imam Yesuit ketika ia mengenyam pendidikan MULO di Jogjakarta dan HIK di Muntilan. Yang lebih mengena, tentu saja, perjumpaannya yang hanya sebentar dengan Romo Van Lith yang menyisakan kesan lama dan abadi dalam dirinya tentang semangat misioner yang ditanamkan dalam dirinya.
Yesuit memang telah lama memiliki tradisi kuat dalam bidang pendidikan. Semangat misioner yang dimiliki oleh Romo Van Lith telah memberinya inspirasi untuk melanjutkan cita-cita dan karya Romo Van Lith itu dalam seluruh perjalanan hidupnya. Karena itu, begitu dia dipermandikan dan menjadi Katolik, semangat misioner itu semakin menyala dalam dirinya. Ia pun ingin meneruskan pengalaman iman perjumpaannya dengan Yesus Kristus itu melalui karya pendidikan. Ia mendedikasikan karya pendidikan itu dengan cara mendirikan Excelsior School di samping rumahnya (sekolah ini tutup ketika Jepang datang ke Indonesia), mengajar agama, dan kelak, berkat jasa baik dan bantuan Yayasan Salib Suci Bandung dan Mgr. Arnts (Uskup Agung berkedudukan di Bandung), ia mendirikan Sekolah Santo Thomas yang sampai sekarang masih melayani pendidikan dasar mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Jejak-jejak Semangat Yesuit
Menelusur kembali bagaimana jejak semangat para Yesuit dalam hidup Pak Doewe tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri. Sejak awal memang para Yesuit sangat menekankan pembaharuan kerohanian Gereja dari dalam. Karena itu, sejak semula, Serikat Yesus menekankan kerasulan pewartaan iman melalui cara berkotbah, berkatekese dan mengajar anak-anak dari kalangan kurang terdidik agar semakin mengenal Allah dan Gereja. Kepercayaan iman bahwa benih Sabda itu mesti ditanamkan dalam jiwa anak-anak sejak kecil inilah yang telah memberikan inspirasi bagi para Yesuit untuk memberikan perhatian besar pada pendidikan iman anak-anak di sekolah. Di Indonesia, semangat ini tampil hidup dalam diri Romo Van Lith. Iman akan Yesus Kristus itu hanya akan dapat dimengerti dan dikenali jika ada orang yang mewartakannya. Untuk itulah Romo Van Lith ingin mendidik orang-orang agar mampu menjadi pewarta Sabda Tuhan yang handal. Perjumpaan Bapak Doewe dengan Romo Van Lith yang hanya beberapa saat ini rupanya memiliki pengaruh yang sangat mendalam bagi hidupnya. Kecintaannya pada kegiatan mengajar, terutama memberikan pelajaran agama, baik kepada para siswa, maupun kepada para katekumen merupakan kegiatan yang dapat memberikan kegembiraan dan makna yang mendalam bagi hidupnya. Pak Doewe adalah seorang katekis dan pendidik, dan seluruh hidupnya dibaktikan untuk kegiatan pewartaan iman ini.
Budaya Sunda yang tidak memiliki akar kekatolikan tidak membuatnya surut dalam menempa diri menjadi rasul sejati bagi masyarakat di Sunda. Ia sendiri, yang setelah mengerti, memahami dan merasakan betapa berharganya iman akan Yesus Kristus bagi hidupnya, ingin juga menularkan kepada saudara-saudaranya di tanah Sunda agar mereka pun dapat mengenal kebaikan hati Allah yang telah bermurah hati dan baik dalam hidupnya.
Sebagaimana dahulu para Yesuit juga berkobar-kobar ingin menyalakan api cinta Kristus kepada semua bangsa, agar bangsa-bangsa lain yang belum mengenal Kristus dapat melihat terang daripadaNya, Pak Doewe pun juga memiliki semangat yang sama. Ia ingin, agar masyarakat Sunda pun melihat dan mengenal api cinta Kristus yang telah menyalakan bara pelayanan di dalam hatinya.
Pak Doewe telah memulai menyalakan api cinta Kristus itu pertama-tama di dalam dirinya sendiri, keluarganya, dan kemudian di dalam masyarakat Sunda. Kehidupannya menjadi berkat bagi masyarakat Sunda, dan terutama bagi Gereja. Bagaimana pun juga, jika Allah telah menghendaki, tidak ada satupun yang mustahil. Melihat pertumbuhan Gereja Katolik di tanah Sunda pada masa kini, kita patut bersyukur, bahwa api cinta Kristus yang pernah mulai dinyalakan oleh Pak Doewe melalui dunia pendidikan itu telah memiliki para penerus hidup yang akan menjadi saksi kehadiran Tuhan di tanah Sunda. Pak Doewe telah memulainya, dan kita memiliki tanggungjawab untuk meneruskan agar api itu terus menyala. Menyalakan api cinta Kristus dalam setiap hati merupakan kerinduan terdalam yang pernah dimiliki oleh Pak Doewe sebagai guru, pendidik, dan pengajar iman. (Penulis adalah Imam Yesuit, Alumnus Boston College Lynch School of Education, Amerika Serikat).
1 komentar:
Pada saat itu tantangan issue kristenisasi apa sudah ada ya dalam masyarakat kita yang multikultural dan multi etnis?
Posting Komentar