Senin, 13 Juni 2011

Sambutan Mgr.J.Pujasumarta Pr


BENIH IMAN ITU HIDUP:

MENGAKAR, MEKAR DAN BERBUAH

(Kenangan Abadi: Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra)


Dalam Arah Dasar Keuskupan Bandung (2010-2014) umat Allah Keuskupan Bandung merumuskan cita-citanya berkehendak menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Cita-cita tersebut telah menjadi peristiwa sejarah dalam pribadi Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966); diwujudnyatakan dalam perihidup anak-cucu dan kerabat-kerabatnya, dan kita semua pada zaman sekarang.

Pernikahannya dengan Raden Ajeng Yohana Soemartilah, kerabat Kraton Yogyakarta (1931) merupakan tanda keterbukaan hati pasangan suami isteri itu akan terjadinya dialog antar-budaya, yang membongkar sekat-sekat primordialisme kesukuan. Di kedalaman dialog itu ditemukan, dihayati, dan diamalkan nilai kristiani yang membuat hati keluarga yang dibangun menjudi bagai tanah yang baik, yang subur bagi pemenuhan iman kristiani.

Benih iman itu hidup dalam hatinya, hati manusia, yang terbuka pada nilai kristiani, tanpa terluka, namun sebaliknya bahkan disuburkan. Ke-Sunda-annya tidak dirusak, namun sebaliknya digenapi menjadi Sunda Katolik. Dengan begitu, ke-Katolik-an bukanlah suatu barang asing yang hidup bagai benalu pada pokok ke-Sunda-an, tetapi ke-Katolik-an menjadi terjelma, ter-inkarnasi dalam ke-Sunda-an yang terbuka pada kepenuhan nilai.

Proses inkarnasi Firman masih terjadi pada zaman sekarang dalam jalur-jalur yang lebih kompleks karena pada zaman sekarang interkomunikasi budaya mengarah pada wilayah luas multikulturalisme. Interkomunikasi budaya itu tentu sudah membongkar sekat-sekat primordialisme kesukuan antar manusia zaman sekarang. Dan di wilayah itu proses inkarnasi Firman terjadi secara nyata.

Dalam proses inkarnasi Firman menjadi manusia, dan tinggal di tengah-tengah kita. “Verbum caro factum est, et habitavit in nobis” (Yoh 1:14). Proses hidup mencapai kepenuhan dengan mengakar, mekar, dan berbuah, sehingga Firman menjadi Kabar Sukacita, “Verbum” menjadi “Evangelium”. Dalam peristiwa Kristus proses untuk menghasilkan buah dilaluinya melalui jalan salib kehidupan-Nya, suatu proses pengosongan diri seutuh-utuhnya kepada Allah, agar diisi dengan Roh Allah sendiri, suatu sikap berbagi tanpa pamrih, karena kesadaran bahwa seluruh alam ini Allah juga pemilikinya.

Saya berharap proses inkarnasi Firman menjadi manusia, dan transformasi “Verbum” menjadi “Evangelium” yang terjadi dalam pribadi Bp. Doewe, tetap terjadi pada zaman sekarang dalam setiap pribadi warga umat Allah Keuskupan Bandung, yang bertekad mewujudkan cita-citanya menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah. Dari tanaman yang hidup proses kehidupan itu dipelajari. Agar mengakar Bapak dan Ibu Doewe menemukan keluarga menjadi tempat pengolahan tanah agar benih iman itu tumbuh, dan mengakar, sehingga akar-akarnya dapat menjangkau sumber air yang tak kunjung habis. Sumber itu adalah kasih Allah sendiri yang ditandakan dalam hidup berkeluarga, wujud Gereja rumah tangga, tempat orangtua menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dengan teladan nyata. Teladan nyata dari orangtua menjadi daya tumbuh bagi benih-benih iman yang ditabur dalam hati anak-anak.

Pada masa sulit ketika kekuasaan Jepang meraja lela di Asia Timur, oleh Bapak Doewe dirintis sekolah (Excelsior School) untuk anak-anak pribumi agar yang berakar di dalam keluarga tetap mekar, tumbuh semakin kuat, terlindung dari bahaya yang mengancam. Sekolah itulah menjadi cikal bakal Sekolah Santo Thomas yang didirikan di atas lahan keluarga Doewe. Melalui proses pendidikan sekolah itu pula Gereja hidup, menghasilkan buah baik bagi masyarakat. Kesediaannya berbagi tidak surut dimakan zaman, bahkan sebaliknya semakin berbuah melimpah. Mengawali pelayanan saya sebagai Uskup Keuskupan Bandung saya menyaksikan upacara hibah sebidang tanah luas oleh keluarga Douwe kepada Gereja, agar bisa semakin dapat dimanfaatkan untuk keperluan Gereja, dan melalui Gereja untuk masyarakat.

Kalau sekarang umat Allah Keuskupan Bandung menegaskan cita-citanya untuk menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah, sebenarnya rujukan mewujudkan cita-cita itu sudah ada, yaitu keluarga Bapak Ibu Doewe. BENIH IMAN ITU HIDUP:

MENGAKAR, MEKAR DAN BERBUAH (Kenangan Abadi: Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra)

Terimakasih kepada keluarga besar Bapak Ibu Doewe yang hidupnya memberi inspirasi bagi kami, umat Keuskupan Bandung untuk mewujudkan cita-cita Gereja menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah.

Salam, doa ‘n Berkah Tuhan,

Bandung, 8 Januari 2010

+ Johannes Pujasumarta

Uskup Keuskupan Bandung

Tidak ada komentar: