Senin, 29 Desember 2008

Jakob Sumardjo


MENGGEREJA DI TANAH SUNDA

Dari riwayat Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966) dapat disimak, bagaimana berat menjadi Katolik di lingkungan masyarakat Sunda. Seorang Sunda yang menjadi Katolik seakan-akan bukan warga masyarakatnya lagi. Pada awalnya Bapak Doewe sulit diterima oleh anggota keluarga besarnya dan juga masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini menyimpulkan, seolah-olah lebih mudah orang bukan Sunda yang menjadi Katolik namun hidup di lingkungan masyarakat Sunda, dari pada seorang Sunda yang memeluk agama Katolik.

Menurut saya, hal ini berhubungan dengan dengan sikap budaya masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang kuat iman Islamnya. Bahkan tersebar ungkapan bahwa Sunda itu Islam. Untuk memahami hal ini perlu disimak historisitas kebudayaan Sunda sampai saat ini. Dalam sebuah ceramah di Banjaran tentang pantun Sunda, saya dikejutkan oleh pertanyaan seorang pesertanya, bahwa tidak mungkin masyarakat Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha di masa lampaunya, yang melahirkan puluhan ceritera pantun itu, sebab masyarakat Sunda sejak awal mula telah memeluk agama Islam.

Mengapa sampai muncul pengetahuan semacam itu? Kenangan terhadap agama Hindu-Budha yang pernah mendirikan kerajaan-kerajaan di tanah Pasundan ini, dan berlangsung  paling lama di Indonesia, dengan runtuhnya Pajajaran pada tahun 1575, sementara Majapahit telah lebih dahulu runtuh sekitar tahun 1525, bahkan ada yang menyatakan tahun 1400, amat tipis dan hilang begitu saja dalam ingatan masyarakatnya. Tentu saja ini hanya berlaku bagi mereka yang hidup di pedesaan dan tidak mendapat pendidikan modern yang mengajarkan sejarah modern Indonesia.

Nasib kebudayaan Hindu-Budha di Jawa-Barat mirip dengan kerajaan-kerajaan Budha di Sumatra. Kebudayaan Hindu-Budha tidak meninggalkan bekas yang berarti dalam sistem pengetahuan masyarakatnya, yang berbeda dengan masyarakat Jawa dan Bali. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Pasundan, meskipun berlangsung lebih dari satu millennium, adalah kerajaan-kerajaan yang menguasai masyarakat peladang. Mereka ini, pada zaman VOC di Jawa Barat, sering disebut “orang Jawa gunung” yang dibedakan dengan “orang Jawa sawah”.

Dalam masyarakat Jawa, sistem ekonomi persawahan yang berkembang subur di dataran-dataran rendah, adalah masyarakat yang disatukan dalam pemahaman lokalitas. Orang-orang sawah adalah masyarakat kolektif besar. Mereka membuka hutan untuk dijadikan tanah persawahan secara gotong-royong dan mengelola tanahnya secara gotong-royong pula akibat sistem pengairan irigasi sawahnya. Inilah sebabnya ceritera tentang pembuatan bendungan-bendungan di masa kerajaan-kerajaan di Jawa Timur sering terjadi.

Dalam masyarakat sawah, tersedianya lahan persawahan yang semakin luas menuntut adanya tenaga manusia yang banyak (banyak anak banyak rejeki), sehingga kondisi demikian yang dihubungkan dengan pengaturan irigasi, memerlukan adanya satu kekuasaan yang kuat yang ditaati oleh seluruh penduduknya. Kekuasaan otoritarian semacam itu adalah kebutuhan mutlak masyarakatnya. Munculnya faham dewa-raja di masyarakat Jawa menggambarkan pentingnya kekuasaan mutlak yang ditaati oleh seluruh penduduknya. Hubungan pusat yang mutlak dengan daerah-daerah yang tersebar luas membangun jarring-jaring hirarkis dari hulu sampai hilir. Apa yang dipikirkan di atas akan sampai di lapisan paling bawah. Inilah sebabnya pikiran-pikiran Hindu-Budha di pusat kerajaan dapat mengakar sampai di lapisan bawah, kendati pun elit penguasanya telah lama lenyap.

Agama Hindu-Budha yang ritualistik dan sedikit banyak mengembangkan mistisisme Hindu-Budha-Tantra masih cukup kuat  ketika agama Islam tersebar di Jawa, bahkan di zaman modern ini. Kondisi ini, kalau dihubungkan dengan agama Katolik yang juga penuh ritual dan sakremen-sakramen, lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang persawahan ini. Kalau daerah Muntilan, dimana Bapak Doewe pernah sekolah guru (meski tidak selesai), sebagai pusat penyebaran Katolisisme pada awal abad 20, tidak terlalu mengherankan dilihat dari cara pandang budayanya. Daerah Magelang dan Jogyakarta adalah daerah-daerah tua tempat berdirinya kerajaan-kerajaan pertanian besar, sejak zaman Mataram Hindu sampai Mataram Islam.

Di tanah Pasundan, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha-Tantra hanya bersawah di sekitar pusat kekuasaan, sedangkan sebagian besar penduduknya hidup dari berladang-berpindah. Meskipun terdapat hierarki kekuasaan juga dari pusat ke daerah-daerah, seperti disebutkan dalam kitab Siksa Kandang Karesian (1518), namun daerah-daerah peladang yang semi mobile itu tak mungkin menjalin hubungan permanen dan menetap dari alam pikiran pusat-pusat kekuasaan. Inilah sebabnya alam pikiran primordial Sunda peladang terus hidup dengan sentuhan Hindu-Budha yang amat tipis. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Sunda ini runtuh, maka ikut lenyaplah kebudayaan Hindu-Sundanya. Kenangan terhadap kejayaan Hindu-Sunda amat tipis, yang sebagian masih tersisa dalam berbagai ceritera pantun Sunda. Meskipun demikian rakyat Sunda menilai bukan bersifat Hindu tetapi Sunda, atau bahkan Islam. Dalam banyak rajah (mantra) pantun doa-doa Islam banyak masuk di dalamnya.

Tersebarnya agama Islam di Pasundan dilakukan oleh para ulamanya dengan dakwah sampai ke pelosok-pelosok desa peladangnya. Hal ini tidak terjadi pada zaman Hindu-Sunda yang para pendetanya berpusat di daerah-daerah kekuasaan atau beberapa di daerah kabuyutan di perbukitan, seperti juga di Jawa.

Rakyat perdesaan Sunda memperoleh secara langsung ajaran-ajaran Islam secara mendalam sebagai peristiwa akulturasinya yang pertama. Kalau di Jawa akulturasi budaya pertama terjadi sejak zaman Hindu, dan kemudian Islam lalu modernitas. Tidak mengherankan apabila di Pasundan kenangan terhadap masa budaya Hindu-Budhanya yang demikian panjang kurang berbekas, kecuali bagi yang mempelajari sejarah modern. Kenangan itu tersimpan secara samar di pantun-pantun mereka yang masih menyebut raja-raja Pajajaran dan Galuh serta Prabu Siliwangi.

Kenangan terhadap budaya nenek moyang masa lampau ini terutama berkembang di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat yang merupakan daerah perbukitan. Sedangkan wilayah pantai utara Jawa Barat lebih mencolok budaya pesisir Islamnya. Budaya Islam pesisir ini meliputi bukan hanya Jawa Barat utara tetapi juga seluruh pesisir pulau Jawa. Daerah Bapak Doewe di Ciledug, Cirebon, masuk dalam wilayah budaya ini. Terguncangnya keluarga Bapak Doewe di kampungnya ketika beliau memeluk Katolik dapat difahami dari peta budaya ini.

Agak berbeda dengan budaya Jawa Barat selatan yang masih kuat kenangan budaya Sunda nenek moyangnya. Itulah sebabnya terdapat beberapa kantong pemeluk Kristiani sejak zaman kolonial di daerah selatan ini. Mereka ini kaum Kristen Pasundan.

Yang menarik adalah sikap budaya mereka yang menghubungkan Islam dengan Sunda. Di Sukabumi Selatan masih terdapat kampung-kampung adat yang beragama Islam di Ciptagelar. Di wilayah ini kesatuan desa terdiri dari tiga kampung besar yang dinamai kampung buhun, kampung nagara dan kampung syara. Kampung buhun mengurus adat Sunda, kampung nagara mengurus administrasi modern republik, dan kampung syara mengurus agama Islam.

Kampung buhun oleh masyarakat setempat identik dengan Nyawa dan Tekad, kampung nagara identik dengan Raga dan Ucap, sedangkan kampung syara identik dengan Pakaian dan Lampah. Inilah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai konsep Tilu Spamula, Dua Sakarupa, Hiji Eta eta Keneh.

Menilik penamaan yang demikian itu dapat ditafsirkan bahwa kampung buhun yang mengurus adat istiadat Sunda merupakan inti atau nyawa kehidupan sosialnya, sedang kampung syara yang mengurus agama Islam merupakan “pakaian” atau laku sehari-harinya, dan kampung nagara yang mengurus administrasi modern merupakan tubuh sosial dan ucapan sehari-hari. Disini unsur adat Sunda masih dominan dalam hidup budayanya. Inilah sebabnya, meskipun mereka pemeluk Islam yang teguh namun masih melakukan upacara-upacara adat Seren Taun.

Bahwa daerah Pasundan selatan masih cukup kuat kenangan dan praksis adat Sundanya, dapat disimak dari adanya berbagai kampung adat semacam itu yang masih memelihara apa yang disebut kabuyutan Sunda. Kampung kabuyutan menyimpan kuburan dan pusaka-pusaka Sunda lama yang masih amat dihormati. Bahkan kuburan-kuburan semacam itu masih diziarahi oleh umat Islam Sunda. Penghormatan akan kesundaan masih terus dipelihara sampai hari-hari ini.

Dari panorama budaya semacam ini, nampaklah bahwa varian Sunda itu cukup beragam. Terdapat berbagai lapis budaya yang berdasarkan historisitasnya masing-masing. Secara umum ada empat lapis budaya, yakni budaya Sunda buhun yang merupakan genius lokalnya yang peladang, kemudian samar-samar budaya Hindu-Budha-Sunda, dan yang paling kuat adalah budaya Islamnya, dan budaya modern.

Di beberapa wilayah perdesaan selatan Nampak lapis budaya primordial Sunda, kehinduan dan Islam yang cukup kuat. Di wilayah Jawa Barat utara lebih kuat lapisan Islamnya. Dan di perkotaan budaya Islam dan modern cukup kuat. Secara kasar dapat disebutkan varian budaya Sunda sebagai berikut: Sunda-Islam, Sunda murni (Baduy), Sunda-Islam-modern, Islam murni, Islam-modern, Sunda-Hindu-Islam-modern di perkotaan besar.

Kekristenan sebagai bagian dari modernitas tentu lebih mudah difahami dalam lapis budaya Sunda-Islam-modern, Sunda-Islam, Sunda-Hindu-Islam-modern, dan Sunda murni, akan memahami Kekristenan kalau mendasarkan diri pada budaya Sundanya. Dengan demikian menggereja di tanah Sunda tidak dapat dipukul rata dengan cara yang sama. Namun bagaimana pun kebudayaan Sunda buhun menjadi pijakan penting yang umum bagi hidup menggereja di tanah ini, karena pada dasarnya masyarakat Sunda amat mencintai budaya leluhurnya dan berupaya untuk memeliharanya sampai sekarang.

Kepedulian Gereja atas budaya Sunda buhun sekurang-kurangnya akan mengurangi keterasingan Gereja di tengah masyarakat muslim yang kuat ini. Apalagi masyarakat Sunda memiliki mekanisme perubahan dalam budayanya. Hal ini nampak dalam masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy yang kukuh memegang adat buhun, tidak mau berubah, membuka warganya untuk berubah. Yang mengukuhi adat buhun disebut Baduy Dalam, dan yang berubah Baduy Luar. Ketika perubahan terus terjadi, maka yang Baduy Luar terbagi menjadi Panamping dan Dangka (paling luar dan biasanya sudah memeluk Islam). Yang asli dan yang berubah  dihubungkan oleh Panamping yang bertindak sebagai mediasi.

Dibaca secara Sunda keseluruhan, mekanisme ini tetap dijalankan. Suku Baduy adalah Sunda Dalam yang tak berubah. Sedang masyarakat Sunda umumnya adalah Sunda yang berubah. Penengannya adalah masyarakat adat seperti di Ciptagelar, Kampung Naga, dan berbagai kampung adat yang lain di seluruh Jawa Barat.

Melihat gejala ini, masyarakat Sunda adalah terbuka, yang mangatur dirinya dalam tiga entitas berbeda, yakni yang tak mau berubah dan berubah terus menerus. Karena ada “penengah” maka yang berubah ini juga tak meninggalkan sama sekali kebuhunannya.

Kekristenan sebagai sesuatu yang asing memang diterima, tetapi tetap kategori “luar”. Yang luar ini akan diperhitungkan sebagai bagian dari “dalam” kalau ada mediasinya. Dan mediasi itu tak lain adalah Katolik-Sunda itu. Apapun bentuknya.

Gereja Katolik di Pasundan harus mulai peduli kepada masyarakat dan budaya Sunda-Islam ini. Keasingan dalam iman dapat dijembatani lewat kebudayaan lokalnya. Namun jembatan penghubung ini bermacam ragam bentuknya. Perkotaan berbeda dengan perdesaan, entah tingkat desa, kecamatan atau kabupaten. Yang di kota pun juga berbeda dengan yang lingkungan elit dan menengah serta perkampungan. Masyarakat perkampungan kota kadang lebih sulit dari pada perdesaan.

Masyarakat Sunda yang Katolik tentu berperan lebih besar dalam mediasi asal ketercerabutan dari akar budayanya dipulihkan, karena merekalah pemilik kebudayaan Sunda yang otentik. Berbeda dengan Katolik Jawa yang mampu “menjawakan” Katoliknya, di Sunda sintesa semacam itu bukan bakat budayanya. Pembedaan dan pemisahan tetap dilakukan, dan yang diperlukan adalah “dunia tengah” yang mengandung hakikat “dalam” dan “luar”. Perantara, penghubung, jembatan atau dunia tengah semacam ini dapat konkrit maupun abstrak. Dan dunia tengah itu adalah kesundaan, bahkan keislaman.

(Prof. Jakob Sumardjo: Lahir di Klaten 1939, budayawan, kolumnis, dosen di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Ia menulis sekurangnya 12 judul buku, antara lain Sastra dan Masyarakat Indonesia (1979); Segi Sosiologis Novel Indonesia (1980); Arkeologi Budaya Indonesia (2002). Tulisannya tersebar di banyak media seperti KOMPAS,  Pikiran Rakyat, Prisma, Basis, Horison.)

 

Jumat, 11 Juli 2008

Catatan Si Anak Bungsu.


Kenangan Indah Ibu dan Bapak

Namaku Theresia Soestiati. Umurku 66 tahun. Aku anak ke- 5 dari Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra dan Ibu Raden Ayu Yohana Soemartilah. Bapak dan ibu memanggilku dengan sebutan Utik. Sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, 2 perempuan dan 3 laki-laki, aku punya banyak cerita yang aku alami bersama bapak dan ibuku. Jarak usiaku dengan kakak laki-laki  no 4 adalah 4 tahun. Kakak lebih banyak tinggal bersama nenek, tidak serumah di Jati Seeng, Ciledug – Cirebon. Maka aku merasa seperti anak tunggal saja.

Yang selalu aku ingat dari bapak adalah seorang yang sangat sederhana dalam gaya hidup dan jalan berpikir. Cara bicaranya spontan tanpa basa-basi. Lebih tepat kalau disebut apa adanya. Yang sangat menonjol dari sikap dan sifat bapak adalah ketaatannya pada agama. Beliau selalu berpegang teguh pada prinsip yang diyakininya. Sebagai contoh, beliau meyakini bahwa bila seorang laki-laki sudah menikah, dia harus bersedia meninggalkan ibunya untuk bersatu dengan istri yang dipilihnya. Bapak rela meninggalkan ibunya yang sudah menjanda, demi cintanya untuk ibuku. Walaupun akhirnya nenek pindah juga ke dekat rumah kami, setelah kakakku yang biasa menemani nenek pindah ke Cirebon untuk sekolah.

Sebagai anak tunggal, bapakku sebetulnya punya sifat egois, manja, keras kepala dan terlalu yakin akan prinsip hidupnya. Aku menyadari bahwa kami mempunyai sifat yang sama. Kami merasa sangat cocok satu sama lain. Kami bisa saling support, berkompromi, dan bahkan saling memanfaatkan. Tapi di sisi lain, bapak punya sifat yang juga menonjol, yaitu murah hati, tidak sombong, mudah terharu, dan tidak tegaan. Sampai-sampai sering ditipu dan dimanfaatkan orang yang bermaksud tidak baik. Anehnya bapak tetap mau menolong dan membantu orang-orang yang sudah menipunya. Dengan alasan klise, kasihan!

Ibuku seorang perempuan Jawa yang sangat sederhana, tidak neko-neko. Yang memberikan kesan sangat mendalam bagiku bahwa ibu adalah seorang yang penuh cinta kasih pada anak-anaknya. Walaupun kata orang lain cintanya lebih banyak porsinya untukku, tapi aku tahu bahwa ibu selalu memberikan porsi yang sama untuk kami semua.

Cinta kasih bapak ibuku tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi terasa sangat mendalam di dalam hati. Sederhana tapi dasyat. Hubungat kami bertiga betul-betul indah. Tanpa perlu berkata-kata, kami bisa saling menyatakan dan saling merasakan bahwa kami mempunyai cinta yang dalam. Sampai-sampai terdengar komentar orang,” Kapan sih Bapak tidak menurut dengan Utik?” Tapi ini semua tidak membuatku jadi sombong dan besar kepala. Justru membuatku makin menghormati bapak dan ibuku.

Sebagai manusia biasa bapak dan ibuku seringkali berbeda pendapat, berselisih, karena perbedaan kebiasaan dan budaya. Bapak dari suku Sunda dan ibu dari suku Jawa. Ada saja yang bisa menjadi bahan pertengkaran. Aku yang ada di tengah - tengah mereka sering menjadi rebutan untuk menjadi sekutu. Sampai – sampai untuk urusan menemani tidurpun, aku jadi rebutan. Tapi ini yang akhirnya aku jadikan cara untuk mendamaikan mereka. Aku katakan kalo mereka tidak mau berdamai, lebih baik aku yang pergi. Karena aku tidak bisa memilih satu di antara mereka. Rupanya caraku ini berhasil, mereka mau berdamai karena mereka takut kehilangan aku.

Dengan bertambahnya usia bapak dan ibu, mereka jadi sering sakit-sakitan. Apalagi dengan penyakit asma yang mereka berdua derita. Beberapa kali mereka harus dirawat di rumah sakit. Bapak punya terapi untuk diri sendiri yang mujarab. Yaitu dengan mengajar agama. Asma bapak reda bila bapak mengajar agama dan bertemu dengan murid – muridnya yang ingin dibaptis. Ada cerita, ada seorang bapak yang agak tua, hanya mau diajar agama oleh bapak, tidak mau dengan yang lain. Ternyata bapak tua tadi sudah agak rabun matanya, sehingga bila membaca harus menggunakan kaca pembesar. Kemampuan untuk menghafal doa-doa juga sudah berkurang. Hanya bapak yang bisa memaklumi kondisinya. Ini juga yang menjadikan bapak terinspirasi untuk menulis sendiri doa-doa lengkap dengan bahasa Indonesia dan pelajaran-pelajaran agama  dengan tulisan tangan yang besar-besar agar mudah dibaca oleh murid-murid calon baptisya.

Di Jatiseeng – Ciledug, setiap perayaan Natal, Paskah, maupun Tahun Baru, rumah kamilah yang selalu dijadikan tempat untuk berkumpul. Kebetulan rumah kami cukup besar untuk menampung banyak orang. Kami sudah merasa seperti saudara sendiri antar sesama umat Katolik yang ada di Ciledug. Bapak ibu sudah dianggap sebagai bapak ibu mereka, menerima mereka tanpa perbedaan. Kami semua dipersatukan dalam cinta.

Bapak ibu hanya orang desa, tapi pengetahuan dan ilmu mereka bisa ditandingkan dengan orang kota. Cara berpikir mereka cukup modern. Banyak pedoman-pedoman hidup yang diajarkan oleh mereka masih aku terapkan dan bahkan aku ajarkan juga kepada anak-anak dan cucu-cucuku. Sejak kecil aku diajari untuk selalu membaca doa pagi, doa malam, doa sebelum dan sesudah makan, doa dalam perjalanan, dan doa-doa spontan dalam bahasa yang sangat sederhana. Dan itu masih terus aku lakukan sampai usiaku sekarang ini. Bapak ibu mengajarkan bahwa inti dari doa kami adalah:

1.   bersyukur dan berterima kasih atas karuniaNya.

2.   mohon ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan.

3.   mohon selalu dilindungi, dibimbing dan diberkati.

4.   berserah diri dengan penuh iman dan harapan kepadaNya.

Karena hanya Tuhan lah Allah segalanya yang bisa mengabulkan apapun permohonan manusia. BagiNya tidak ada yang tak mungkin.

Ajaran bapak ibu yang selalu kuingat dan sangat tertanam dalam hati adalah bahwa Tuhan bersabda : “Jika engkau hendak menyenangkan Daku, percayalah kepadaKu. Jika engkau hendak lebih menyenangkan Daku, berharaplah padaKu selalu.” Ini yang menjadi modal dan bekal hidupku sampai di usiaku sekarang ini, selanjutnya sampai tiba ajalku nanti.

Aku selalu bersyukur, bangga, dan bahagia mempunyai orang tua seperti bapak dan ibu yang selalu ada untukku dengan segenap cinta mereka. Semoga akupun bisa menjadi ibu dan nenek yang punya segudang cinta untuk anak-anak dan cucu-cucuku.

Keterangan Foto:

Sebagian keluarga Bapak Doewe. Bapak yang berdiri adalah saudara jauh dari Ibu Doewe. Ketiga anak laki - laki adalah (dari kiri ke kanan) :

Joseph Soesanto (anak ke - 3)
Johanes Soeseno (anak ke - 2)
F.X. Soesmoyo (anak ke -4)

Rabu, 28 Mei 2008

Riwayat PAK DOEWE.



IN MEMORIAM BAPAK LUDOVICUS DOEWE PRAWIRADISASTRA

I

Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra, yang dilahirkan pada tanggal                 7 November 1907 di desa Jatiseeng, Cileduk adalah seorang putra tunggal dari pasangan Bapak Sakim Sastrabangsa dengan Ibu Sarpit.  Bapak Sakim adalah Kuwu (Kepala Desa) Cigobang, sedang Ibu Sarpit adalah anak kedua Bapak/Ibu Maskat, salah seorang pemuka masyarakat desa Jatiseeng.

Saat kelahirannya, Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra diberi nama Doewe (baca Duwe).  Ludovicus adalah nama baptis pada setelah beliau memeluk agama Katolik, sedang Prawiradisastra adalah nama tambahan sesuai adat pada saat setelah menikah.

Dalam kehidupan masa remaja, sebagai seorang anak Kuwu, Bapak Doewe dapat menikmati pendidikan HIS dan MULO di kota Bandung, bersama dengan para putra “Pejabat Pribumi” lain, termasuk pendidikan tata santun kehidupan eksklusif Barat yang berlaku saat itu bagi para remaja Pribumi.   Konon, Bapak/Ibu Sakim sangat menginginkan anak tunggalnya melanjutkan pendidikannya ke MOSVIA, dengan harapan di kelak kemudian hari dapat menduduki jabatan di lingkungan kepamongprajaan (Wedana dan atau pejabat lain setingkat).  Namun Bapak Doewe lebih tertarik ke bidang pendidikan.

Di sisi lain, pertemuannya dengan onderwijzer HIS, Bapak Thomas Aquino Martomo telah membuahkan rasa ketertarikkannya kepada ajaran agama Katolik.  Dengan alasan dari ketertarikannya kepada agama Katolik itulah, maka Bapak Th. Martomo menyarankan agar Bapak Doewe melanjutkan pendidikan di Yogyakarta,  di lingkungan para Pastur Yesuit.  Demikianlah pada akhirnya Bapak Doewe dibaptis setelah memperoleh izin dari orang tuanya untuk memeluk agama Katolik.  Nama baptis yang dipilihnya adalah Ludovicus.  Selanjutnya dari kedekatannya dengan Bapak Thomas Aquino Martomo pulalah yang telah mempertemukannya dengan salah seorang putri dari kerabat keraton Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Yohana Soemartilah, yang juga adik ipar Bapak Th. Martomo, yang masih bersekolah di Susteran Mendut.  Akhirnya setelah melangsungkan perkawinan Gerejawi, pada tahun 1931 Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra memboyong Ibu R.A. Y. Soemartilah ke Jatiseeng, berikut tekad misionarisnya untuk mengembangkan agama Katolik di desa kelahirannya. 

II

Kepulangan Bapak Doewe yang telah memeluk agama Katolik dengan istri berasal dari kerabat Keraton Yogyakarta yang juga beragama Katolik sempat mengguncang kerukunan kekerabatan warga desa Cigobang yang beragama Islam, yang pada hakekatnya masih merupakan para saudara sepupu dari garis keturunan Bapak Sakim.  Demikian pula reaksi negatif datang dari kerabat Jatiseeng dari garis keturunan Ibu Sarpit.

Namun satu hal yang membanggakan Bapak Doewe adalah bahwa kedua orang tuanya sangat memahami segala apa yang menjadi pilihan hidupnya.  Pilihan pendidikan, pilihan pasangan hidup, bahkan pilihan keyakinan yang berbeda dengan seluruh kerabatnya, tidak melunturkan segala kasih sayang hubungan orang tua – anak. Bapak Sakim penuh dengan segala kearifan dan kebijakan dalam kepemimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga, maupun sebagai Kuwu desa Cigobang, yang warganya sempat terguncang saat melihat kenyataan bahwa putra tunggal Kepala desanya yang sangat disayangi dan dihormati telah memeluk agama Katolik.

Segala kearifan dan kebijakan Bapak Sakim terhadap warga desanya yang sebagian besar terdiri dari satu garis keturunan yang sama, telah menumbuhkan rasa kagum dan hormat para pemuka-pemuka masyarakat Cigobang.  Karena itu pulalah, warga Cigobang merasa sangat kehilangan saat Bapak Sakim mengajukan izin cuti dari jabatan Kuwu karena kesehatannya dan akhirnya meninggal pada tahun 1940 1).  Sejak itu Bapak Sakim memperoleh sebutan Kuwu Perlop (Verlof) yang kedengarannya seperti perlot dan karenanya sampai sekarang warga sesepuh desa Cigobang mengenal Bapak Sakim sebagai Bapak Perlot.  Kearifan dan kebijakan ini diyakini kemudian diwarisi oleh Bapak Doewe, dimana tanpa bosan-bosannya, secara teratur dan berkesinambungan Bapak Doewe menyambangi segenap kerabatnya di Cigobang, saat mengunjungi Ibunya.  Segala kearifan dan kebijakannya inilah akhirnya meluluhkan sikap penolakan warga Cigobang pada Bapak Doewe.

Demikian pula berkat kearifan dan kebijakan serta kesabaran yang tanpa putus, reaksi negatif dari kerabat Jatiseengpun mulai terpupus. 

 

 

1) Menurut penuturan Bapak Doewe, beliau sempat membaptis Bapak Sakim, atas permintaannya,

sesaat sebelum meninggal.  Hal ini yang menjadi kebanggaan Bapak Doewe.  Sepeninggal Bapak Sakim, Ibu Sarpit tetap berdomisili di desa Cigobang hingga tahun 50 – an, kemudian pindah ke desa Jatiseeng.  Ibu Sarpit yang dijuluki Ibu Kuwu Perlot tetap sangat dihormati segenap warga desa Cigobang sebagai tokoh  panutan sampai akhir hayatnya pada tahun 1956.  Sama halnya dengan Bapak Sakim, Ibu Sarpit dibaptis pada saat sebelum meninggal.  Suatu kebanggaan yang tiada taranya, dimana kedua orang tuanya   pada akhirnya telah dibaptiskan secara Katolik.

III

Ketertarikannya di bidang pendidikan dan kebulatan tekadnya untuk mengembangkan agama Katolik di Jatiseeng terus membayangi dan mewarnai seluruh kehidupan Bapak Doewe sejak kepindahannya dari Yogyakarta ke Jatiseeng.  Sebagian besar waktu keluarga banyak tersita untuk kegiatan konsultasi baik dengan para tokoh agama Katolik maupun tokoh bidang pendidikan yang berada di Yogyakarta dan atau kota-kota lainnya di Jawa Tengah.

Sebenarnyalah keberadaan keluarga Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra di Jatiseeng saat itu (1931) merupakan keluarga Katolik satu-satunya dan yang pertama kali ada di desa Jatiseeng, Cileduk.  Walaupun demikian, Bapak Doewe tetap tegar, baik dalam doa maupun dalam tindak.

Ketertarikannya di bidang pendidikan telah dibuktikan dengan berdirinya sekolah yang bernama “Excelsior School” yang letaknya di samping rumah kediaman Bapak L. Doewe untuk masyarakat pribumi berminat.  Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan para onderwijzer nya didatangkan dari berbagai kota di Jawa Tengah.  Namun kedatangan Jepang pada tahun 1942, telah memaksa Excelsior School untuk segera membubarkan diri sebelum berurusan serius dengan bala tentara Jepang.

Sedang tekadnya untuk menyebarkan agama Katolik di desa Jatiseeng, tidak pernah lekang oleh halang rintang apapun.  Ketiadaan buku doa berbahasa Indonesia apalagi bahasa Sunda, justru telah memberi semangat baru untuk menterjemahkan buku-buku doa dari bahasa Belanda dan atau bahasa Jawa, ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, yang ditulis dengan tulisan tangan.  Satu-satunya kendala yang sering merintangi kelancaran aktivitasnya adalah Asma.  Namun sering pula keluarga terperangah, ketika menyaksikan kondisi beliau yang tampak segar bugar, penuh keceriaan, saat mengajarkan agama kepada para simpatisan yang datang ke kediaman, padahal beberapa saat sebelumnya serangan asmanya cukup berat.

Mengajar agama yang sering berlangsung sampai berjam-jam baik di kediaman maupun di rumah simpatisan benar-benar sangat beliau nikmati.  Tiada hari tanpa mengajar agama.  Sungguh luar biasa  !

Hasilnya, secara perlahan namun terus mengalir dimana para simpatisan yang umumnya dari masyarakat keturunan Tionghoa dibaptiskan dan karenanya keluarga Bapak Doewe sudah bukan lagi satu-satunya keluarga Katolik di desa Jatiseeng – Cileduk.  

Dalam hal tekad dan cita-cita pengembangan agama Katolik yang sementara itu telah menunjukkan keberadaan sejumlah simpatisan yang telah dibaptis memberikan harapan akan lahirnya tekad dan cita-cita  baru, yaitu membangun sebuah Gereja di Jatiseeng.  Suatu hal yang sangat sulit untuk diwujudkan saat itu.

Bagi para warga Katolik  Jatiseeng dan Cileduk, tiada pilihan lain yang lebih dekat kecuali ke Gereja Cirebon yang jaraknya sekitar 30 Km, manakala ingin mengikuti Misa Kudus.  Inilah suatu uji ketabahan bagi para warga Katolik baru di wilayah Jatiseeng dan Cileduk.

Segala aktivitas Bapak Doewe di desa Jatiseeng, Cileduk dalam penyebaran agama Katolik yang telah membuahkan hasil, terpantau, terekam di Paroki Cirebon berlanjut ke Keuskupan Bandung dan terlaporkan ke Vatikan.  Segala pelaporan diyakini terterima baik, yang karenanya pada Nopember 1953 terbit keputusan Vatikan untuk memberikan tanda penghargaan kepada Bapak Doewe berupa Penghargaan Salib Augusta, PRO ECCLESIA ET PONTIFICE yang penganugrahannya akan dilaksanakan di Keuskupan Bandung pada bulan Juni 1954.

Seiring dengan kebahagiaan atas penghargaan dari Paus sebagai Pimpinan Tertinggi Umat Katolik sedunia, pada 2 hari menjelang uapacara penganugrahan, anaknya nomer 4 dirawat di RS. Borromeus dalam kondisi kritis, akibat alergi kina yang telah menyebabkan pendarahan yang tak dapat membeku 2).  Inilah suatu cobaan yang harus beliau atasi dalam kepatuhan dan ketaatannya kepada keagungan Tuhan.  Demikianlah pada saatnya, upacara penganungrahan penghargaan berlangsung sebagaimana direncanakan, dan masa kritis putranya dapat terlewati.

 

 

 

2) Putra-putri Bapak Doewe tercatat 5 orang yaitu  2 orang putri dan 3 orang putra.  Dari penuturan Bapak Doewe, kekaguman dan kecintaannya atas Yohanes, Maria dan Josef telah diwujudkan dalam pilihan nama Baptis bagi putra-putrinya.  Itulah sebabnya anak laki-laki yang no. 3 sekalipun dilahirkan pada tanggal 3 Desember yang nota bene merupakan hari raya Santo Franciscus Xaverius tidak dipilih sebagai nama Baptisnya.  Pilihan jatuh pada Josef, Karena Yohanes telah digunakan putranya terdahulu. 

IV 

Kecintaan Bapak Doewe pada dunia pendidikan ternyata tidak pernah luntur seiring dengan kecintaannya mengajarkan agama Katolik.  Melalui berbagai ragam cara,  sejak Excelsior School bubar beliau terus berupaya untuk dapat berdiri kembali di depan kelas suatu sekolah resmi.  Hanya berkat ketekunan, kegigihan yang tidak pernah menyerah, maka akhirnya pada tahun 1950 beliau berhasil mewujudkan cita-citanya berkat jasa baik dan bantuan Yayasan Salib Suci Bandung dan Mgr Arnts (Uskup Agung berkedudukan di Bandung), yaitu berpindahnya ruang-ruang kelas sekolah yang semula berada di pendopo rumah kediaman beliau, beralih ke ruang-ruang kelas suatu gedung sekolah yang berdiri di atas lahan orang tua Bapak Doewe yang telah dihibahkan kepada Yayasan Salib Suci.  Sekolah yang diberi nama Santo Thomas membuka kelas Taman Kanak-kanak dan kelas-kelas tingkat dasar.  Kemudian dalam perkembangannya, Sekolah Santo Thomas mencakup sampai tingkat SMP, hingga sekarang.

Di sisi lain, seiring pula dengan telah berdirinya Sekolah Santo Thomas, dengan melalui berbagai prosedur perizinan dalam berbagai ragam tingkat kesulitan, Perayaan Ekaristi/Misa Kudus dapat diselenggarakan di Jatiseeng pada setiap hari Minggu dan hari-hari Natal serta Paskah, dengan menggambil tempat di suatu ruangan kelas.  Suatu embrio berdirinya Gereja Katolik di Jatiseeng.

Demikianlah warga Katolik Jatiseeng dan Cileduk selain dapat menyekolahkan anak cucunya di Sekolah Katolik “Santo Thomas”, juga dapat mengikuti Misa Kudus pada tiap hari Minggu bersama Pastur yang datang dari Cirebon.

Kekerabatan warga Katolik Jatiseeng Cileduk dalam kegiatan keagamaan di luar kegiatan sakramen, masih banyak terpusat pada figur Bapak Doewe yang selama ini masih merupakan tokoh panutan.  Demikian pula pada tiap perayaan-perayaan Natal dan Paskah pada setelah selesai upacara Gereja, selalu berkumpul bersama di kediaman Bapak Doewe menikmati hidangan yang disediakan bersama, bergotong royong baik dalam dana maupun tenaga.  Inilah ciri khas keakraban kekerabatan warga Katolik Jatiseeng, Cileduk.

Anak-anak remaja yang bersekolah di luar kota, pada hari-hari Natal dan Paskah selalu pulang ke Jatiseeng, Cileduk untuk merayakannya bersama orang tuanya, bersama seluruh kerabat warga Katolik Jatiseeng dan Cileduk di “Gereja ruang kelas”.  Berkumpul bersama di kediaman Bapak Doewe untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman hidup.

  Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra meninggal pada tanggal 3 Juni 1966 di kediamaannya di Jatiseeng 3).   Sekalipun  beliau telah tiada, namun cita-cita beliau akan berdirinya suatu Gereja Katolik di Jatiseeng terus bergulir dari waktu ke waktu dan akhirnya pada tahun 1971 berkat doa dan jasa baik seluruh warga Katolik di Jatiseeng, Cileduk, Cirebon dan Keuskupan Bandung serta atas kehendak Yang Maha Kuasa telah berdiri suatu bangunan Gereja Katolik di Jatiseeng di lingkungan Sekolah Santo Thomas.

Sekilas kenangan Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra yang telah membawa Agama Katolik ke desa Jatiseeng, berikut cita-cita membangun Gereja Katolik yang kemudian terwujud beberapa tahun setelah beliau tiada, yang merintis keberadaan Sekolah Katolik Santo Thomas bagi segenap warga Katolik Jatiseeng khususnya dan warga lain berminat pada umumnya,  merupakan suatu rekaman historis yang indah bagi segenap kerabat keturunan Bapak Doewe, bagi segenap kerabat keturunan umat Katolik Jatiseeng, Cileduk dan bagi  yang berkenan secara khusus mengenangnya. 

 

Jakarta,    Juli  2006 

Frans Soesmoyo


Putra - putri Bapak Doewe adalah sbb :
1. Maria Soesilah (Ny. Moedjihardjo)
2. Johanes Soeseno
3. Joseph Soesanto
4. F.X. Soesmoyo
5. Theresia Soestiati

Bapak Doewe dibaptis di Jogjakarta pada tanggal 25 Mei 1927.
 



Kelahiran Sekolah Katolik Santo Thomas Jatiseeng

I

Kelahiran Sekolah Katolik pertama di desa Jatiseeng, Cileduk yang kemudian diberi nama Santo Thomas pada hakekatnya berkaitan erat dengan tiga peristiwa yang mendahuluinya. Pertama, adanya kegiatan belajar mengajar siswa-siswi setingkat Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) yang dikelola secara pribadi oleh Bapak Doewe di rumah kediamannya di Jatiseeng. Kedua, adanya kunjungan Mgr. P.M. Arntz OSC (Uskup Agung Bandung) dan Mgr. W. van Hees OSC (Mgr. tamu dari Belanda), beserta para Petinggi Gereja dan Yayasan Salib Suci Bandung serta Pastor Soemodiwiryo OSC (Paroki Cirebon) ke kediaman Bapak Doewe pada tanggal 10 Maret 1950 yang kemudian mengakui secara resmi kegiatan belajar mengajar binaan Bapak Doewe sebagai embryo Sekolah Katolik pertama di Jatiseeng di bawah Yayasan Salib Suci Bandung. Ketiga, pembaptisan cucu kedua Bapak Doewe yang lahir pada tanggal 7 Maret 1950, oleh Mgr. W. van Hees OSC pada tanggal 10 Maret 1950 dan diberi nama baptis Thomas Aquino [1]. Bermula dari nama baptis inilah, nama Santo Thomas terpilih sebagai Nama Pelindung Sekolah yang akan dibangun, termasuk kelas-kelas binaan Bapak Doewe.

Dari ketiga peristiwa di atas diperoleh gambaran bahwa ketiga peristiwa tersebut layak dipahami sebagai rangkaian peristiwa yang saling berkaitan dan secara bersama-sama telah memberikan kontribusi terhadap terbentuknya Sekolah Katolik Santo Thomas Jatiseeng, dimulai dari tingkat Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), Sekolah Menengah Pertama dan Taman Kanak-kanak.

II

Kecintaan Bapak Doewe pada dunia pendidikan yang tak kunjung padam telah melahirkan idea dan tekad baru untuk mendirikan kembali suatu sekolah, setelah Exelsior School bubar karena adanya penjajahan Jepang di Indonesia. Idea dan tekad tersebut makin terpacu dengan adanya kenyataan putra-putri warga Katolik dan atau simpatisannya di desa Jatiseeng dan Cileduk banyak yang terabaikan pendidikan formalnya, setelah tamat Sekolah Rakyat 3 tahun [2]. Pendidikan formal yang ada di Jatiseeng, Cileduk dan sekitarnya adalah Sekolah Rakyat Negeri 3 tahun (di Jatiseeng), Sekolah Rakyat Gadis Negeri 3 tahun (di Cileduk) dan Sekolah Tionghoa (di Cileduk).

Dari sejumlah pendekatan yang dilakukan Bapak Doewe secara terus menerus dan berkesinambungan pada para warga Katolik dan simpatisannya di Jatiseeng dan Cileduk, akhirnya terciptalah suatu kesepakatan bersama. Kesepakatan antar warga Katolik dan simpatisannya untuk kemudian merestui putra-putrinya “bersekolah” di rumah Bapak Doewe yang terdiri dari ruang-ruang kelas petak di pendopo rumah.

Hasil rekruitering menunjukkan adanya sejumlah jenjang kelas yang harus dikelola secara simultan, dimulai dari kelas 4, 5 dan 6. Suatu tantangan tersendiri bagi Bapak Doewe, tetapi konon sungguh sangat dinikmatinya. Putra-putri yang terekruit [3] dikelompokkan sesuai dengan jenjang kelasnya dan dididik sebagaimana anak-anak didik suatu sekolah formal. Dengan segala keterbatasan tentunya.

Demikianlah, karena berangkat dari suatu tekad kebersamaan dan dengan segala keterbukaan, maka sekalipun kegiatan belajar mengajar hanya dilakukan dalam ruang-ruang kelas petak di pendopo rumah, dengan kurikulum dan buku-buku pelajaran yang serba terbatas serta seadanya, namun semangat belajar mereka patut diacungi jempol. Hal tersebut dibuktikan dari kemampuan mereka yang berhasil lulus pada ujian saringan masuk SMP.

Kegiatan belajar mengajar kelas-kelas binaan Bapak Doewe tersebut yang mulai berlangsung terhitung sejak di penghujung tahun 1949, dalam perjalanannya terpantau, terlaporkan ke dan terekam oleh Yayasan Salib Suci Bandung. Konon segala pelaporan ikhwal kegiatan Bapak Doewe di bidang pendidikan serta kegiatannya sebagai seorang misionaris dan atau katekis yang telah berhasil mengembangkan agama Katolik di desa Jatiseeng dan sekitarnya, telah memperoleh tanggapan positif dari para Petinggi Gereja [4] dan Yayasan Salib Suci.

III

Kunjungan Mgr. P.M. Antz OSC, Mgr. W. van Hees OSC beserta para Petinggi Gereja lain dan Yayasan Salib Suci pada tanggal 10 Maret 1950 ke kediaman Bapak Doewe di Jatiseeng, patut diyakini sebagai kunjungan resmi yang lebih bersifat peninjauan lapangan atas segala laporan yang diterima. Namun apapun maksud dan tujuan kunjungan para Petinggi Gereja dan Pengurus Yayasan Salib Suci Bandung ke Jatiseeng, kunjungan tersebut kemudian menelorkan keputusan dari suatu kesepakatan yaitu bahwa Yayasan Salib Suci berkenan akan mendirikan bangunan Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) dan mengakui kegiatan belajar mengajar kelas-kelas binaan Bapak Doewe sebagai Sekolah Rakyat Katolik Pertama di Jatiseeng dalam embryo di bawah naungan Yayasan Salib Suci Bandung.

Gedung sekolah akan dibangun di atas lahan milik Bapak Doewe yang dihibahkan kepada Yayasan Salib Suci [5]. Pekerjaan pembangunan fisik gedung sekolah akan dimulai pada tahun 1951, segera setelah selesai segala proses administrasi dan atau perizinan terkait.

Di sisi lain, momentum kunjungan para Petinggi Gereja dan Yayasan Salib Suci ke Jatiseeng pada tanggal 10 Maret 1950, berhasil termanfaatkan untuk mohon pembaptisan cucu kedua Bapak Doewe yang dilahirkan pada tanggal 7 Maret 1950. Ternyata Mgr. W. van Hees OSC berkenan untuk membaptisnya dan beliau memberi nama baptis Thomas Aquino, sesuai dengan hari kelahirannya yang bertepatan dengan hari raya Santo Thomas Aquino.

Dalam acara ramah tamah setelah usai acara pembaptisan, Bapak Doewe terilhami untuk mengusulkan Nama Pelindung Sekolah adalah Santo Thomas Aquino, dengan harapan semoga Sekolah Katolik Jatiseeng kelak akan berkembang menjadi sekolah yang patut diperhitungkan keberadaannya sebagaimana Sekolah-sekolah Santo Thomas yang berada di Amerika, Eropa atau Filipina misalnya. Inilah sebenarnya visi Sekolah Santo Thomas pada saat kelahirannya. Usulan diterima baik dan tersepakati pula bahwa kelak peresmian gedung sekolah akan dilakukan hanya pada tanggal 7 Maret.

Peresmian gedung Sekolah Rakyat Santo Thomas dilakukan oleh Pastor J. Döhne pada tanggal 7 Maret 1952.

IV

Dengan merujuk pada keputusan dari suatu kesepakatan yang antara lain berupa pengakuan resmi atas kegiatan belajar mengajar kelas-kelas binaan Bapak Doewe sebagai Sekolah Rakyat Katolik Pertama di Jatiseeng dalam embryo di bawah naungan Yayasan Salib Suci Bandung, Pastor Oedjoed Pr. (seorang pastor yang ditugaskan di Jatiseeng dan Cileduk) bersama dengan Bapak Agustinus Prawoto (keponakan Bapak Doewe, putra kedua Bapak Thomas Aquino Martomo) memperoleh kewenangan untuk membuka ujian seleksi penerimaan Sekolah Menengah Pertama yang akan bernaung pula di bawah Yayasan Salib Suci. Ujian seleksi penerimaan siswa pada dasarnya dikhususkan bagi siswa-siswi alumni kelas-kelas sekolah binaan Bapak Doewe, sekalipun terbuka pula bagi mereka yang berminat.

Ichwal segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penyelesaian perizinan dan masalah administrasi sekolah sebagaimana lazimnya yang belum tuntas, dipercayakan sepenuhnya kepada Bapak Agustinus Prawoto. Pastor Oedjoed Pr. Lebih banyak berperan di bidang pembinaan lain-lain.

Tahun ajaran 1952/1953 merupakan tahun ajaran pertama SMP Santo Thomas dengan ruang-ruang kelas di salah satu rumah yang dibeli Yayasan dari warga keturunan Arab. Mereka yang dulu duduk di ruang-ruang kelas di pendopo rumah Bapak Doewe, kini kembali duduk di ruang-ruang kelas suatu rumah milik Yayasan. Mereka adalah siswa siswi SMP Katolik Santo Thomas angkatan pertama dan sekaligus merupakan alumni Sekolah Dasar Santo Thomas Jatiseeng yang pertama pula.

V

Sementara Sekolah Dasar Santo Thomas, yang gedung sekolahnya diresmikan pada tanggal 7 Maret 1952, dibawah kepemimpinan Bapak Doewe, Sekolah Menengah Pertama dibawah kepemimpinan Pastor Oedjoed Pr. bersama Bapak Agustinus Prawoto [6] sampai tahun ajaran 1954/1955. Keduanya berjalan seiring dan sesuai dinamika lapangannya masing-masing. Sejumlah data dari beberapa sumber yang patut dipercaya memberikan pemahaman bahwa SMP Santo Thomas dibawah kepemimpinan Bapak Loekito (terhitung tahun ajaran 1955/1956 sampai dengan 1958/1959) mulai tertata rapi. Beliau adalah mantan onderwijzer Excelsior School, Jatiseeng, Cileduk, yang sangat professional di bidang pendidikan. Namun beliau dipanggil Tuhan pada September 1958. Kepemimpinan SMP beralih ke Bapak Saswidoyo yang ditugaskan dari Yayasan Salib Suci. Beliau adalah seorang yang handal secara akademik juga pandai dalam pergaulan bermasyarakat. Selain disiplin belajar mengajar mulai ditegakkan secara bertahap namun pasti, nuansa keakraban dengan para pemuka masyarakat Jatiseeng dan Cileduk mulai tercipta. Keberadaan Sekolah Santo Thomas (SD, SMP, termasuk TK yang didirikan tahun 1954) secara keseluruhan mulai popular di wilayah Cileduk dan sekitarnya. Konon saat itu SMA de Britto Yogyakarta, SMA Loyola Semarang dan SMA Aloysius Bandung tidak pernah ragu menerima alumni SMP Santo Thomas Jatiseeng.

Estafet kepemimpinan Sekolah Santo Thomas Jatiseeng (SMP, SD, dan TK) terus bergulir dari waktu ke waktu, setidaknya sampai tulisan ini dibuat. Bergulir dari sejak Bapak Doewe dengan ruang-ruang kelas binaannya (yang kemudian diakui sebagai embriyo Sekolah Rakyat Santo Thomas hingga dibangunnya gedung sekolah dan diresmikan pada tanggal 7 Maret 1952), sampai pada kepemimpinan Bapak Paulus Tarju. Bergulir dari sejak Pastor Oedjoed Pr. dan Bapak Agustinus Prawoto sampai pada kepemimpinan Ibu V. Diah Wiyati SPd. Kesemuanya berjalan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala aneka ragam gaya kepemimpinannya (styles of leadership) masing-masing. Namun diyakini, keseluruhannya tetap pada visinya yaitu sekitar mewujudkan Sekolah Katolik Santo Thomas Jatiseeng menjadi sekolah terbaik dan karenanya menjadi sekolah yang patut diperhitungkan keberadaannya.

VI

Tulisan ichwal kelahiran Sekolah Katolik Santo Thomas Jatiseeng ini disajikan untuk menyong song hari kelahirannya yang biasa diperingati pada tiap tanggal 7 Maret. Selain itu, terkandung harapan bahwa tulisan ini dapat pula digunakan sebagai informasi pelengkap pada tulisan “In Memoriam Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra”. Harapan lain, mudah-mudahan pada suatu saat kelak akan terbit tulisan lengkap yang patut dijadikan sebagai naskah dokumen kelahiran Sekolah Katolik Santo Thomas Jatiseeng.

Jakarta, 7 Maret 2008 

Frans Soesmoyo



[1]           Mgr. W. van Hees OSC yang mengusulkan memberi nama baptis Thomas Aquino, karena Tanggal 7 Maret adalah hari raya Santo Thomas Aquino, seorang filosof besar yang sering dijuluki sebagai “Si Lembu Tolol”.

[2]            Pada saat itu Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) di desa-desa hanya sampai kelas 3 saja. Untuk kelas 4, 5, dan 6 hanya ada di Cirebon.

[3]            Putra-putri Bapak Doewe tidak termasuk, karena yang pertama sudah menikah sedang yang ke 2, 3 dan 4 sudah bersekolah di SMP Kanisius Salatiga, dan Putri bungsunya sudah bersekolah di Sekolah Rakyat Santa Maria Cirebon. Tetapi kemudian pada kelas 5 ia bergabung di Jatiseeng.

[4]            Kegiatan Bapak Doewe dalam penyebaran agama Katolik di Jatiseeng dan sekitarnya, sangat dihargai oleh Vatikan dan karenanya Bapak Paus Pius XII telah berkenan menganugerahkan tanda penghargaan berupa “Penghargaan Salib Augusta Pro Ecclesia et Pontifice”, tertanggal 4 November 1953. Seremoni penganugerahan tanda penghargaan dilaksanakan di Keuskupan Bandung pada bulan Juni 1954.

[5]            Lahan yang dihibahkan kepada Yayasan Salib Suci adalah lahan untuk gedung sekolah serta lapangan sekolah. Tanah dan dua bangunan yang berada tidak jauh dari bangunan sekolah yang kemudian dibeli oleh Yayasan dari warga keturunan Arab, dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai rumah dan asrama para guru. Dalam perkembangannya, salah satu bangunan selain digunakan untuk asrama para guru, juga digunakan untuk ruang-ruang kelas SMP terhitung sejak tahun ajaran 1952/1953.

[6]            Bapak Agustinus Prawoto kemudian masuk Seminari Agung di Bandung, tetapi kemudian keluar lagi dan terus melanjutkan pendidikannya di Wina Austria, dan menikah dengan gadis Austria. Beliau kemudian dikenal sebagai pendiri SOS Desa Taruna (Kinderdorf) di Lembang, Bandung, suatu yayasan pengasuh anak-anak yatim-piatu dan/atau anak-anak terlantarkan melalui system pengasuhan keluarga yang disponsori oleh suatu lembaga di Wina.