MENGGEREJA DI TANAH SUNDA
Dari riwayat Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra (1907-1966) dapat disimak, bagaimana berat menjadi Katolik di lingkungan masyarakat Sunda. Seorang Sunda yang menjadi Katolik seakan-akan bukan warga masyarakatnya lagi. Pada awalnya Bapak Doewe sulit diterima oleh anggota keluarga besarnya dan juga masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini menyimpulkan, seolah-olah lebih mudah orang bukan Sunda yang menjadi Katolik namun hidup di lingkungan masyarakat Sunda, dari pada seorang Sunda yang memeluk agama Katolik.
Menurut saya, hal ini berhubungan dengan dengan sikap budaya masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang kuat iman Islamnya. Bahkan tersebar ungkapan bahwa Sunda itu Islam. Untuk memahami hal ini perlu disimak historisitas kebudayaan Sunda sampai saat ini. Dalam sebuah ceramah di Banjaran tentang pantun Sunda, saya dikejutkan oleh pertanyaan seorang pesertanya, bahwa tidak mungkin masyarakat Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha di masa lampaunya, yang melahirkan puluhan ceritera pantun itu, sebab masyarakat Sunda sejak awal mula telah memeluk agama Islam.
Mengapa sampai muncul pengetahuan semacam itu? Kenangan terhadap agama Hindu-Budha yang pernah mendirikan kerajaan-kerajaan di tanah Pasundan ini, dan berlangsung paling lama di Indonesia, dengan runtuhnya Pajajaran pada tahun 1575, sementara Majapahit telah lebih dahulu runtuh sekitar tahun 1525, bahkan ada yang menyatakan tahun 1400, amat tipis dan hilang begitu saja dalam ingatan masyarakatnya. Tentu saja ini hanya berlaku bagi mereka yang hidup di pedesaan dan tidak mendapat pendidikan modern yang mengajarkan sejarah modern Indonesia.
Nasib kebudayaan Hindu-Budha di Jawa-Barat mirip dengan kerajaan-kerajaan Budha di Sumatra. Kebudayaan Hindu-Budha tidak meninggalkan bekas yang berarti dalam sistem pengetahuan masyarakatnya, yang berbeda dengan masyarakat Jawa dan Bali. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Pasundan, meskipun berlangsung lebih dari satu millennium, adalah kerajaan-kerajaan yang menguasai masyarakat peladang. Mereka ini, pada zaman VOC di Jawa Barat, sering disebut “orang Jawa gunung” yang dibedakan dengan “orang Jawa sawah”.
Dalam masyarakat Jawa, sistem ekonomi persawahan yang berkembang subur di dataran-dataran rendah, adalah masyarakat yang disatukan dalam pemahaman lokalitas. Orang-orang sawah adalah masyarakat kolektif besar. Mereka membuka hutan untuk dijadikan tanah persawahan secara gotong-royong dan mengelola tanahnya secara gotong-royong pula akibat sistem pengairan irigasi sawahnya. Inilah sebabnya ceritera tentang pembuatan bendungan-bendungan di masa kerajaan-kerajaan di Jawa Timur sering terjadi.
Dalam masyarakat sawah, tersedianya lahan persawahan yang semakin luas menuntut adanya tenaga manusia yang banyak (banyak anak banyak rejeki), sehingga kondisi demikian yang dihubungkan dengan pengaturan irigasi, memerlukan adanya satu kekuasaan yang kuat yang ditaati oleh seluruh penduduknya. Kekuasaan otoritarian semacam itu adalah kebutuhan mutlak masyarakatnya. Munculnya faham dewa-raja di masyarakat Jawa menggambarkan pentingnya kekuasaan mutlak yang ditaati oleh seluruh penduduknya. Hubungan pusat yang mutlak dengan daerah-daerah yang tersebar luas membangun jarring-jaring hirarkis dari hulu sampai hilir. Apa yang dipikirkan di atas akan sampai di lapisan paling bawah. Inilah sebabnya pikiran-pikiran Hindu-Budha di pusat kerajaan dapat mengakar sampai di lapisan bawah, kendati pun elit penguasanya telah lama lenyap.
Agama Hindu-Budha yang ritualistik dan sedikit banyak mengembangkan mistisisme Hindu-Budha-Tantra masih cukup kuat ketika agama Islam tersebar di Jawa, bahkan di zaman modern ini. Kondisi ini, kalau dihubungkan dengan agama Katolik yang juga penuh ritual dan sakremen-sakramen, lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang persawahan ini. Kalau daerah Muntilan, dimana Bapak Doewe pernah sekolah guru (meski tidak selesai), sebagai pusat penyebaran Katolisisme pada awal abad 20, tidak terlalu mengherankan dilihat dari cara pandang budayanya. Daerah Magelang dan Jogyakarta adalah daerah-daerah tua tempat berdirinya kerajaan-kerajaan pertanian besar, sejak zaman Mataram Hindu sampai Mataram Islam.
Di tanah Pasundan, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha-Tantra hanya bersawah di sekitar pusat kekuasaan, sedangkan sebagian besar penduduknya hidup dari berladang-berpindah. Meskipun terdapat hierarki kekuasaan juga dari pusat ke daerah-daerah, seperti disebutkan dalam kitab Siksa Kandang Karesian (1518), namun daerah-daerah peladang yang semi mobile itu tak mungkin menjalin hubungan permanen dan menetap dari alam pikiran pusat-pusat kekuasaan. Inilah sebabnya alam pikiran primordial Sunda peladang terus hidup dengan sentuhan Hindu-Budha yang amat tipis. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Sunda ini runtuh, maka ikut lenyaplah kebudayaan Hindu-Sundanya. Kenangan terhadap kejayaan Hindu-Sunda amat tipis, yang sebagian masih tersisa dalam berbagai ceritera pantun Sunda. Meskipun demikian rakyat Sunda menilai bukan bersifat Hindu tetapi Sunda, atau bahkan Islam. Dalam banyak rajah (mantra) pantun doa-doa Islam banyak masuk di dalamnya.
Tersebarnya agama Islam di Pasundan dilakukan oleh para ulamanya dengan dakwah sampai ke pelosok-pelosok desa peladangnya. Hal ini tidak terjadi pada zaman Hindu-Sunda yang para pendetanya berpusat di daerah-daerah kekuasaan atau beberapa di daerah kabuyutan di perbukitan, seperti juga di Jawa.
Rakyat perdesaan Sunda memperoleh secara langsung ajaran-ajaran Islam secara mendalam sebagai peristiwa akulturasinya yang pertama. Kalau di Jawa akulturasi budaya pertama terjadi sejak zaman Hindu, dan kemudian Islam lalu modernitas. Tidak mengherankan apabila di Pasundan kenangan terhadap masa budaya Hindu-Budhanya yang demikian panjang kurang berbekas, kecuali bagi yang mempelajari sejarah modern. Kenangan itu tersimpan secara samar di pantun-pantun mereka yang masih menyebut raja-raja Pajajaran dan Galuh serta Prabu Siliwangi.
Kenangan terhadap budaya nenek moyang masa lampau ini terutama berkembang di wilayah tengah dan selatan Jawa Barat yang merupakan daerah perbukitan. Sedangkan wilayah pantai utara Jawa Barat lebih mencolok budaya pesisir Islamnya. Budaya Islam pesisir ini meliputi bukan hanya Jawa Barat utara tetapi juga seluruh pesisir pulau Jawa. Daerah Bapak Doewe di Ciledug, Cirebon, masuk dalam wilayah budaya ini. Terguncangnya keluarga Bapak Doewe di kampungnya ketika beliau memeluk Katolik dapat difahami dari peta budaya ini.
Agak berbeda dengan budaya Jawa Barat selatan yang masih kuat kenangan budaya Sunda nenek moyangnya. Itulah sebabnya terdapat beberapa kantong pemeluk Kristiani sejak zaman kolonial di daerah selatan ini. Mereka ini kaum Kristen Pasundan.
Yang menarik adalah sikap budaya mereka yang menghubungkan Islam dengan Sunda. Di Sukabumi Selatan masih terdapat kampung-kampung adat yang beragama Islam di Ciptagelar. Di wilayah ini kesatuan desa terdiri dari tiga kampung besar yang dinamai kampung buhun, kampung nagara dan kampung syara. Kampung buhun mengurus adat Sunda, kampung nagara mengurus administrasi modern republik, dan kampung syara mengurus agama Islam.
Kampung buhun oleh masyarakat setempat identik dengan Nyawa dan Tekad, kampung nagara identik dengan Raga dan Ucap, sedangkan kampung syara identik dengan Pakaian dan Lampah. Inilah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai konsep Tilu Spamula, Dua Sakarupa, Hiji Eta eta Keneh.
Menilik penamaan yang demikian itu dapat ditafsirkan bahwa kampung buhun yang mengurus adat istiadat Sunda merupakan inti atau nyawa kehidupan sosialnya, sedang kampung syara yang mengurus agama Islam merupakan “pakaian” atau laku sehari-harinya, dan kampung nagara yang mengurus administrasi modern merupakan tubuh sosial dan ucapan sehari-hari. Disini unsur adat Sunda masih dominan dalam hidup budayanya. Inilah sebabnya, meskipun mereka pemeluk Islam yang teguh namun masih melakukan upacara-upacara adat Seren Taun.
Bahwa daerah Pasundan selatan masih cukup kuat kenangan dan praksis adat Sundanya, dapat disimak dari adanya berbagai kampung adat semacam itu yang masih memelihara apa yang disebut kabuyutan Sunda. Kampung kabuyutan menyimpan kuburan dan pusaka-pusaka Sunda lama yang masih amat dihormati. Bahkan kuburan-kuburan semacam itu masih diziarahi oleh umat Islam Sunda. Penghormatan akan kesundaan masih terus dipelihara sampai hari-hari ini.
Dari panorama budaya semacam ini, nampaklah bahwa varian Sunda itu cukup beragam. Terdapat berbagai lapis budaya yang berdasarkan historisitasnya masing-masing. Secara umum ada empat lapis budaya, yakni budaya Sunda buhun yang merupakan genius lokalnya yang peladang, kemudian samar-samar budaya Hindu-Budha-Sunda, dan yang paling kuat adalah budaya Islamnya, dan budaya modern.
Di beberapa wilayah perdesaan selatan Nampak lapis budaya primordial Sunda, kehinduan dan Islam yang cukup kuat. Di wilayah Jawa Barat utara lebih kuat lapisan Islamnya. Dan di perkotaan budaya Islam dan modern cukup kuat. Secara kasar dapat disebutkan varian budaya Sunda sebagai berikut: Sunda-Islam, Sunda murni (Baduy), Sunda-Islam-modern, Islam murni, Islam-modern, Sunda-Hindu-Islam-modern di perkotaan besar.
Kekristenan sebagai bagian dari modernitas tentu lebih mudah difahami dalam lapis budaya Sunda-Islam-modern, Sunda-Islam, Sunda-Hindu-Islam-modern, dan Sunda murni, akan memahami Kekristenan kalau mendasarkan diri pada budaya Sundanya. Dengan demikian menggereja di tanah Sunda tidak dapat dipukul rata dengan cara yang sama. Namun bagaimana pun kebudayaan Sunda buhun menjadi pijakan penting yang umum bagi hidup menggereja di tanah ini, karena pada dasarnya masyarakat Sunda amat mencintai budaya leluhurnya dan berupaya untuk memeliharanya sampai sekarang.
Kepedulian Gereja atas budaya Sunda buhun sekurang-kurangnya akan mengurangi keterasingan Gereja di tengah masyarakat muslim yang kuat ini. Apalagi masyarakat Sunda memiliki mekanisme perubahan dalam budayanya. Hal ini nampak dalam masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy yang kukuh memegang adat buhun, tidak mau berubah, membuka warganya untuk berubah. Yang mengukuhi adat buhun disebut Baduy Dalam, dan yang berubah Baduy Luar. Ketika perubahan terus terjadi, maka yang Baduy Luar terbagi menjadi Panamping dan Dangka (paling luar dan biasanya sudah memeluk Islam). Yang asli dan yang berubah dihubungkan oleh Panamping yang bertindak sebagai mediasi.
Dibaca secara Sunda keseluruhan, mekanisme ini tetap dijalankan. Suku Baduy adalah Sunda Dalam yang tak berubah. Sedang masyarakat Sunda umumnya adalah Sunda yang berubah. Penengannya adalah masyarakat adat seperti di Ciptagelar, Kampung Naga, dan berbagai kampung adat yang lain di seluruh Jawa Barat.
Melihat gejala ini, masyarakat Sunda adalah terbuka, yang mangatur dirinya dalam tiga entitas berbeda, yakni yang tak mau berubah dan berubah terus menerus. Karena ada “penengah” maka yang berubah ini juga tak meninggalkan sama sekali kebuhunannya.
Kekristenan sebagai sesuatu yang asing memang diterima, tetapi tetap kategori “luar”. Yang luar ini akan diperhitungkan sebagai bagian dari “dalam” kalau ada mediasinya. Dan mediasi itu tak lain adalah Katolik-Sunda itu. Apapun bentuknya.
Gereja Katolik di Pasundan harus mulai peduli kepada masyarakat dan budaya Sunda-Islam ini. Keasingan dalam iman dapat dijembatani lewat kebudayaan lokalnya. Namun jembatan penghubung ini bermacam ragam bentuknya. Perkotaan berbeda dengan perdesaan, entah tingkat desa, kecamatan atau kabupaten. Yang di kota pun juga berbeda dengan yang lingkungan elit dan menengah serta perkampungan. Masyarakat perkampungan kota kadang lebih sulit dari pada perdesaan.
Masyarakat Sunda yang Katolik tentu berperan lebih besar dalam mediasi asal ketercerabutan dari akar budayanya dipulihkan, karena merekalah pemilik kebudayaan Sunda yang otentik. Berbeda dengan Katolik Jawa yang mampu “menjawakan” Katoliknya, di Sunda sintesa semacam itu bukan bakat budayanya. Pembedaan dan pemisahan tetap dilakukan, dan yang diperlukan adalah “dunia tengah” yang mengandung hakikat “dalam” dan “luar”. Perantara, penghubung, jembatan atau dunia tengah semacam ini dapat konkrit maupun abstrak. Dan dunia tengah itu adalah kesundaan, bahkan keislaman.
(Prof. Jakob Sumardjo: Lahir di Klaten 1939, budayawan, kolumnis, dosen di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Ia menulis sekurangnya 12 judul buku, antara lain Sastra dan Masyarakat Indonesia (1979); Segi Sosiologis Novel Indonesia (1980); Arkeologi Budaya Indonesia (2002). Tulisannya tersebar di banyak media seperti KOMPAS, Pikiran Rakyat, Prisma, Basis, Horison.)