Rabu, 28 Mei 2008

Riwayat PAK DOEWE.



IN MEMORIAM BAPAK LUDOVICUS DOEWE PRAWIRADISASTRA

I

Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra, yang dilahirkan pada tanggal                 7 November 1907 di desa Jatiseeng, Cileduk adalah seorang putra tunggal dari pasangan Bapak Sakim Sastrabangsa dengan Ibu Sarpit.  Bapak Sakim adalah Kuwu (Kepala Desa) Cigobang, sedang Ibu Sarpit adalah anak kedua Bapak/Ibu Maskat, salah seorang pemuka masyarakat desa Jatiseeng.

Saat kelahirannya, Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra diberi nama Doewe (baca Duwe).  Ludovicus adalah nama baptis pada setelah beliau memeluk agama Katolik, sedang Prawiradisastra adalah nama tambahan sesuai adat pada saat setelah menikah.

Dalam kehidupan masa remaja, sebagai seorang anak Kuwu, Bapak Doewe dapat menikmati pendidikan HIS dan MULO di kota Bandung, bersama dengan para putra “Pejabat Pribumi” lain, termasuk pendidikan tata santun kehidupan eksklusif Barat yang berlaku saat itu bagi para remaja Pribumi.   Konon, Bapak/Ibu Sakim sangat menginginkan anak tunggalnya melanjutkan pendidikannya ke MOSVIA, dengan harapan di kelak kemudian hari dapat menduduki jabatan di lingkungan kepamongprajaan (Wedana dan atau pejabat lain setingkat).  Namun Bapak Doewe lebih tertarik ke bidang pendidikan.

Di sisi lain, pertemuannya dengan onderwijzer HIS, Bapak Thomas Aquino Martomo telah membuahkan rasa ketertarikkannya kepada ajaran agama Katolik.  Dengan alasan dari ketertarikannya kepada agama Katolik itulah, maka Bapak Th. Martomo menyarankan agar Bapak Doewe melanjutkan pendidikan di Yogyakarta,  di lingkungan para Pastur Yesuit.  Demikianlah pada akhirnya Bapak Doewe dibaptis setelah memperoleh izin dari orang tuanya untuk memeluk agama Katolik.  Nama baptis yang dipilihnya adalah Ludovicus.  Selanjutnya dari kedekatannya dengan Bapak Thomas Aquino Martomo pulalah yang telah mempertemukannya dengan salah seorang putri dari kerabat keraton Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Yohana Soemartilah, yang juga adik ipar Bapak Th. Martomo, yang masih bersekolah di Susteran Mendut.  Akhirnya setelah melangsungkan perkawinan Gerejawi, pada tahun 1931 Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra memboyong Ibu R.A. Y. Soemartilah ke Jatiseeng, berikut tekad misionarisnya untuk mengembangkan agama Katolik di desa kelahirannya. 

II

Kepulangan Bapak Doewe yang telah memeluk agama Katolik dengan istri berasal dari kerabat Keraton Yogyakarta yang juga beragama Katolik sempat mengguncang kerukunan kekerabatan warga desa Cigobang yang beragama Islam, yang pada hakekatnya masih merupakan para saudara sepupu dari garis keturunan Bapak Sakim.  Demikian pula reaksi negatif datang dari kerabat Jatiseeng dari garis keturunan Ibu Sarpit.

Namun satu hal yang membanggakan Bapak Doewe adalah bahwa kedua orang tuanya sangat memahami segala apa yang menjadi pilihan hidupnya.  Pilihan pendidikan, pilihan pasangan hidup, bahkan pilihan keyakinan yang berbeda dengan seluruh kerabatnya, tidak melunturkan segala kasih sayang hubungan orang tua – anak. Bapak Sakim penuh dengan segala kearifan dan kebijakan dalam kepemimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga, maupun sebagai Kuwu desa Cigobang, yang warganya sempat terguncang saat melihat kenyataan bahwa putra tunggal Kepala desanya yang sangat disayangi dan dihormati telah memeluk agama Katolik.

Segala kearifan dan kebijakan Bapak Sakim terhadap warga desanya yang sebagian besar terdiri dari satu garis keturunan yang sama, telah menumbuhkan rasa kagum dan hormat para pemuka-pemuka masyarakat Cigobang.  Karena itu pulalah, warga Cigobang merasa sangat kehilangan saat Bapak Sakim mengajukan izin cuti dari jabatan Kuwu karena kesehatannya dan akhirnya meninggal pada tahun 1940 1).  Sejak itu Bapak Sakim memperoleh sebutan Kuwu Perlop (Verlof) yang kedengarannya seperti perlot dan karenanya sampai sekarang warga sesepuh desa Cigobang mengenal Bapak Sakim sebagai Bapak Perlot.  Kearifan dan kebijakan ini diyakini kemudian diwarisi oleh Bapak Doewe, dimana tanpa bosan-bosannya, secara teratur dan berkesinambungan Bapak Doewe menyambangi segenap kerabatnya di Cigobang, saat mengunjungi Ibunya.  Segala kearifan dan kebijakannya inilah akhirnya meluluhkan sikap penolakan warga Cigobang pada Bapak Doewe.

Demikian pula berkat kearifan dan kebijakan serta kesabaran yang tanpa putus, reaksi negatif dari kerabat Jatiseengpun mulai terpupus. 

 

 

1) Menurut penuturan Bapak Doewe, beliau sempat membaptis Bapak Sakim, atas permintaannya,

sesaat sebelum meninggal.  Hal ini yang menjadi kebanggaan Bapak Doewe.  Sepeninggal Bapak Sakim, Ibu Sarpit tetap berdomisili di desa Cigobang hingga tahun 50 – an, kemudian pindah ke desa Jatiseeng.  Ibu Sarpit yang dijuluki Ibu Kuwu Perlot tetap sangat dihormati segenap warga desa Cigobang sebagai tokoh  panutan sampai akhir hayatnya pada tahun 1956.  Sama halnya dengan Bapak Sakim, Ibu Sarpit dibaptis pada saat sebelum meninggal.  Suatu kebanggaan yang tiada taranya, dimana kedua orang tuanya   pada akhirnya telah dibaptiskan secara Katolik.

III

Ketertarikannya di bidang pendidikan dan kebulatan tekadnya untuk mengembangkan agama Katolik di Jatiseeng terus membayangi dan mewarnai seluruh kehidupan Bapak Doewe sejak kepindahannya dari Yogyakarta ke Jatiseeng.  Sebagian besar waktu keluarga banyak tersita untuk kegiatan konsultasi baik dengan para tokoh agama Katolik maupun tokoh bidang pendidikan yang berada di Yogyakarta dan atau kota-kota lainnya di Jawa Tengah.

Sebenarnyalah keberadaan keluarga Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra di Jatiseeng saat itu (1931) merupakan keluarga Katolik satu-satunya dan yang pertama kali ada di desa Jatiseeng, Cileduk.  Walaupun demikian, Bapak Doewe tetap tegar, baik dalam doa maupun dalam tindak.

Ketertarikannya di bidang pendidikan telah dibuktikan dengan berdirinya sekolah yang bernama “Excelsior School” yang letaknya di samping rumah kediaman Bapak L. Doewe untuk masyarakat pribumi berminat.  Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan para onderwijzer nya didatangkan dari berbagai kota di Jawa Tengah.  Namun kedatangan Jepang pada tahun 1942, telah memaksa Excelsior School untuk segera membubarkan diri sebelum berurusan serius dengan bala tentara Jepang.

Sedang tekadnya untuk menyebarkan agama Katolik di desa Jatiseeng, tidak pernah lekang oleh halang rintang apapun.  Ketiadaan buku doa berbahasa Indonesia apalagi bahasa Sunda, justru telah memberi semangat baru untuk menterjemahkan buku-buku doa dari bahasa Belanda dan atau bahasa Jawa, ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, yang ditulis dengan tulisan tangan.  Satu-satunya kendala yang sering merintangi kelancaran aktivitasnya adalah Asma.  Namun sering pula keluarga terperangah, ketika menyaksikan kondisi beliau yang tampak segar bugar, penuh keceriaan, saat mengajarkan agama kepada para simpatisan yang datang ke kediaman, padahal beberapa saat sebelumnya serangan asmanya cukup berat.

Mengajar agama yang sering berlangsung sampai berjam-jam baik di kediaman maupun di rumah simpatisan benar-benar sangat beliau nikmati.  Tiada hari tanpa mengajar agama.  Sungguh luar biasa  !

Hasilnya, secara perlahan namun terus mengalir dimana para simpatisan yang umumnya dari masyarakat keturunan Tionghoa dibaptiskan dan karenanya keluarga Bapak Doewe sudah bukan lagi satu-satunya keluarga Katolik di desa Jatiseeng – Cileduk.  

Dalam hal tekad dan cita-cita pengembangan agama Katolik yang sementara itu telah menunjukkan keberadaan sejumlah simpatisan yang telah dibaptis memberikan harapan akan lahirnya tekad dan cita-cita  baru, yaitu membangun sebuah Gereja di Jatiseeng.  Suatu hal yang sangat sulit untuk diwujudkan saat itu.

Bagi para warga Katolik  Jatiseeng dan Cileduk, tiada pilihan lain yang lebih dekat kecuali ke Gereja Cirebon yang jaraknya sekitar 30 Km, manakala ingin mengikuti Misa Kudus.  Inilah suatu uji ketabahan bagi para warga Katolik baru di wilayah Jatiseeng dan Cileduk.

Segala aktivitas Bapak Doewe di desa Jatiseeng, Cileduk dalam penyebaran agama Katolik yang telah membuahkan hasil, terpantau, terekam di Paroki Cirebon berlanjut ke Keuskupan Bandung dan terlaporkan ke Vatikan.  Segala pelaporan diyakini terterima baik, yang karenanya pada Nopember 1953 terbit keputusan Vatikan untuk memberikan tanda penghargaan kepada Bapak Doewe berupa Penghargaan Salib Augusta, PRO ECCLESIA ET PONTIFICE yang penganugrahannya akan dilaksanakan di Keuskupan Bandung pada bulan Juni 1954.

Seiring dengan kebahagiaan atas penghargaan dari Paus sebagai Pimpinan Tertinggi Umat Katolik sedunia, pada 2 hari menjelang uapacara penganugrahan, anaknya nomer 4 dirawat di RS. Borromeus dalam kondisi kritis, akibat alergi kina yang telah menyebabkan pendarahan yang tak dapat membeku 2).  Inilah suatu cobaan yang harus beliau atasi dalam kepatuhan dan ketaatannya kepada keagungan Tuhan.  Demikianlah pada saatnya, upacara penganungrahan penghargaan berlangsung sebagaimana direncanakan, dan masa kritis putranya dapat terlewati.

 

 

 

2) Putra-putri Bapak Doewe tercatat 5 orang yaitu  2 orang putri dan 3 orang putra.  Dari penuturan Bapak Doewe, kekaguman dan kecintaannya atas Yohanes, Maria dan Josef telah diwujudkan dalam pilihan nama Baptis bagi putra-putrinya.  Itulah sebabnya anak laki-laki yang no. 3 sekalipun dilahirkan pada tanggal 3 Desember yang nota bene merupakan hari raya Santo Franciscus Xaverius tidak dipilih sebagai nama Baptisnya.  Pilihan jatuh pada Josef, Karena Yohanes telah digunakan putranya terdahulu. 

IV 

Kecintaan Bapak Doewe pada dunia pendidikan ternyata tidak pernah luntur seiring dengan kecintaannya mengajarkan agama Katolik.  Melalui berbagai ragam cara,  sejak Excelsior School bubar beliau terus berupaya untuk dapat berdiri kembali di depan kelas suatu sekolah resmi.  Hanya berkat ketekunan, kegigihan yang tidak pernah menyerah, maka akhirnya pada tahun 1950 beliau berhasil mewujudkan cita-citanya berkat jasa baik dan bantuan Yayasan Salib Suci Bandung dan Mgr Arnts (Uskup Agung berkedudukan di Bandung), yaitu berpindahnya ruang-ruang kelas sekolah yang semula berada di pendopo rumah kediaman beliau, beralih ke ruang-ruang kelas suatu gedung sekolah yang berdiri di atas lahan orang tua Bapak Doewe yang telah dihibahkan kepada Yayasan Salib Suci.  Sekolah yang diberi nama Santo Thomas membuka kelas Taman Kanak-kanak dan kelas-kelas tingkat dasar.  Kemudian dalam perkembangannya, Sekolah Santo Thomas mencakup sampai tingkat SMP, hingga sekarang.

Di sisi lain, seiring pula dengan telah berdirinya Sekolah Santo Thomas, dengan melalui berbagai prosedur perizinan dalam berbagai ragam tingkat kesulitan, Perayaan Ekaristi/Misa Kudus dapat diselenggarakan di Jatiseeng pada setiap hari Minggu dan hari-hari Natal serta Paskah, dengan menggambil tempat di suatu ruangan kelas.  Suatu embrio berdirinya Gereja Katolik di Jatiseeng.

Demikianlah warga Katolik Jatiseeng dan Cileduk selain dapat menyekolahkan anak cucunya di Sekolah Katolik “Santo Thomas”, juga dapat mengikuti Misa Kudus pada tiap hari Minggu bersama Pastur yang datang dari Cirebon.

Kekerabatan warga Katolik Jatiseeng Cileduk dalam kegiatan keagamaan di luar kegiatan sakramen, masih banyak terpusat pada figur Bapak Doewe yang selama ini masih merupakan tokoh panutan.  Demikian pula pada tiap perayaan-perayaan Natal dan Paskah pada setelah selesai upacara Gereja, selalu berkumpul bersama di kediaman Bapak Doewe menikmati hidangan yang disediakan bersama, bergotong royong baik dalam dana maupun tenaga.  Inilah ciri khas keakraban kekerabatan warga Katolik Jatiseeng, Cileduk.

Anak-anak remaja yang bersekolah di luar kota, pada hari-hari Natal dan Paskah selalu pulang ke Jatiseeng, Cileduk untuk merayakannya bersama orang tuanya, bersama seluruh kerabat warga Katolik Jatiseeng dan Cileduk di “Gereja ruang kelas”.  Berkumpul bersama di kediaman Bapak Doewe untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman hidup.

  Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra meninggal pada tanggal 3 Juni 1966 di kediamaannya di Jatiseeng 3).   Sekalipun  beliau telah tiada, namun cita-cita beliau akan berdirinya suatu Gereja Katolik di Jatiseeng terus bergulir dari waktu ke waktu dan akhirnya pada tahun 1971 berkat doa dan jasa baik seluruh warga Katolik di Jatiseeng, Cileduk, Cirebon dan Keuskupan Bandung serta atas kehendak Yang Maha Kuasa telah berdiri suatu bangunan Gereja Katolik di Jatiseeng di lingkungan Sekolah Santo Thomas.

Sekilas kenangan Bapak Ludovicus Doewe Prawiradisastra yang telah membawa Agama Katolik ke desa Jatiseeng, berikut cita-cita membangun Gereja Katolik yang kemudian terwujud beberapa tahun setelah beliau tiada, yang merintis keberadaan Sekolah Katolik Santo Thomas bagi segenap warga Katolik Jatiseeng khususnya dan warga lain berminat pada umumnya,  merupakan suatu rekaman historis yang indah bagi segenap kerabat keturunan Bapak Doewe, bagi segenap kerabat keturunan umat Katolik Jatiseeng, Cileduk dan bagi  yang berkenan secara khusus mengenangnya. 

 

Jakarta,    Juli  2006 

Frans Soesmoyo


Putra - putri Bapak Doewe adalah sbb :
1. Maria Soesilah (Ny. Moedjihardjo)
2. Johanes Soeseno
3. Joseph Soesanto
4. F.X. Soesmoyo
5. Theresia Soestiati

Bapak Doewe dibaptis di Jogjakarta pada tanggal 25 Mei 1927.
 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Semoga bahagia di Rumah Bapa