EXCELSIOR: BAPAK DOEWE PRAWIRADISASTRA
SEBAGAI SANG GURU PROFETIS DARI PANTURA
Agus Rachmat OSC
1. Bayang- Bayang Kenangan
Saya tidak mengenal Pak Doewe secara langsung dan pribadi kerna usia saya tak sepadan dan sejaman dengan usia beliau. Yang terekam jelas dalam ingatan saya adalah kunjungan dadakan beliau ke rumah saya di Cicadas, Bandung, pada tahun 1960an abad yang baru lalu. Sewaktu-waktu, tanpa berita terlebih dahulu, Pak Doewe kerap melakukan kunjungan kilat ke rumah saya; dan kehadirannya itu setiap kali merubah suasana keluarga menjadi lebih cerah dan ceria. Suara beliau yang lantang, derai tawanya yang terus bergelombang langsung menciptakan keakraban kerna mengikis habis jarak usia dan batas tatakrama. Setiap anak disapanya ramah, diberkati keningnya dengan tanda salib, dan ditanyai umur serta jenjang sekolahnya. Lalu kalimat terakhirnya adalah pertanyaan misterius: “Siapa nanti yang akan jadi pastur? Siapa jadi suster?’ Lantas kami, anak-anak keluarga Sabda, saling pandang satu sama lain dengan kerling mata penuh tanda tanya!
Dari dongeng keluarga, akhirnya saya tahu bahwa kedua orang tua saya adalah mantan murid pak Doewe di Sekolah Excelsior yang didirikan beliau di kota Ciledug sebelum Perang Dunia II. Berkat dorongan pak Doewe jugalah kedua orang tua saya itu lalu melanjutkan jenjang pendidikannya di Jawa Tengah: ibu saya melanjutkan pendidikan guru di sekolah susteran Mendut, dan ayah saya ke sekolah guru Katolik di Muntilan. Berkat teladan pak Doewe jugalah kedua orang tua saya itu akhirnya berani menganut agama Katolik secara terbuka. Sebagai tokoh panutan yang dikenal masyarakat luas di daerah Ciledug, pak Doewe berhasil menenteramkan kecemasan kakek-nenek saya bahwa mengijinkan putra/i mereka jadi Katolik itu bukanlah berarti suatu kehilangan, putusnya simpul kekerabatan, melainkan justru makin mempererat ikatan kasih dan persaudaraan itu dengan cinta Kristiani yang tulus abadi. Akhirnya, pak Doewe jugalah yang ikut membidani pernikahan kedua orang tua saya menjadi pasangan suami istri. Itu sebabnya sejak kecil, saya, - bersama kakak/adik lainnya-, dididik untuk memandang pak Doewe sebagai kakek rohani kami. Hubungan kekeluargaan itu terus berlanjut hingga kiwari bersama para anak-cucu keluarga besar Doewe.
2. “Excelsior” sebagai Tindakan Profetis
Tindakan profetis artinya tindakan kenabian: suatu tindakan yang mempunyai pesan yang lestari, tak lekang oleh perubahan alam dan sejarah, terus bergema dan berguna di sepanjang jaman kerna merujuk pada persoalan pokok hidup manusia dimanapun ia berada. Persoalan pokok itu ialah: Bagaimana manusia itu bisa berkembang, makin menjadi lebih baik secara jasmaniah & rohaniah, di dunia & di akhirat? Secara alamiah, dibimbing oleh naluri kemanusiaannya, Pak Doewe berhasil menemukan kunci utama atau formula dasar untuk menjawab persoalan pokok itu. Formula perkembangan hidup itu adalah “Excelsior”, prinsip & slogan yang dipilihnya sebagai nama bagi sekolah rakyat, pendidikan dasar, yang didirikannya di Ciledug sebelum Jaman Penjajahan Jepang.
“Excelsior” adalah sebuah istilah bahasa Latin yang berarti “selalu berjuang untuk jadi lebih tinggi & luhur lagi,” ringkasnya “lebih unggul lagi” (Ever Higher). Dan keunggulann yang berusaha dicari dan ditanamkan pak Doewe itu mempunyai tiga (3) dimensi berikut: keunggulan intelektual, moral, dan religius. Keunggulan intelektual itu berusaha diwujudkannya melalui jalur pendidikan formal di sekolah; keunggulan moral melalui peran sosial dan teladan nyata hidup pribadi di tengah masyarakat; dan keunggulan religius melalui perannya sebagai rasul awam di Tatar Pantura (Pantai Utara), Jawa Barat.
3. Excelsior Intelektual
Peran dan panggilan utama pak Doewe ialah menjadi seorang guru, tokoh pendidik bagi masyarakat pribumi di kampung halamannya. Kendati sebetulnya ia mempunyai bekal dan kecakapan yang memadai, memiliki keahlian akademik dan dukungan sumber daya finansial & sosial untuk merintis sebuah karir yang terpandang di kota besar seperti Bandung, Jakarta atau Yogyakarta, pak Doewe malah memilih untuk berkarya sebagai seorang guru desa bagi masyarakat pribumi di kampung kelahirannya yang relatif terpencil di daerah Ciledug, Pantura Jabar. Pilihan lokasi kerja ini dipandu oleh visi & misi pribadi tertentu: berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat setempat melalui jalur pendidikan. Warga Ciledug pada jaman itu terutama hidup sebagai petani padi & tebu atau buruh pabrik gula milik Belanda. Tanpa pendidikan, mereka akan tetap saja tergantung pada perubahan kondisi alam yang tak menentu atau pada perusahaan kolonial yang menggaji mereka dengan upah rendah sebagai buruh kasar dan buta huruf. Hanya melalui pendidikan sajalah akan terbuka peluang bagi warga lokal untuk meretas cara hidup lain yang lebih baik: sebagai guru, pegawai, perawat atau pedagang, misalnya. Ringkasnya, sebagai seorang guru, pak Doewe merasa terpanggil untuk ikut serta mencerdaskan dan menyejahterakan nasib anak bangsa yang tinggal di kampung halamannya sendiri. Dan pendidikan adalah “pelangi” atau “jembatan emas” untuk meraih masa depan yang lebih baik tersebut.
Kesadaran bahwa pendidikan adalah strategi guna menciptakan “a better future” itu terus berkumandang hingga jaman sekarang juga. Itu sebabnya aneka lembaga dan jenjang pendidikan di Indonesia kini berlumba-lumba menggelari dirinya sendiri sebagai “a center of excellence” (pusat keunggulan): masing-masing memberi janji yang menggiurkan untuk membekali peserta didiknya dengan ilmu & ketrampilan guna mendulang nasib yang lebih baik. Nama “Excelsior” yang dipilih pak Doewe sudah jauh-jauh hari mengantisipasi janji dan kesibukan pendidikann modern Indonesia kiwari itu.
Sebagai suatu lembaga pendidikan formal, kita kini boleh mengenang dengan bangga kualitas dari “Excelsior School” yang diselenggarakan secara mandiri oleh pak Doewe itu. Indikasi dari mutu pendidikan sekolah itu bisa dilihat dari dua (2) prestasi sosial para siswa/inya berikut: pertama, dari kemampuan para muridnya itu untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi lagi di pelbagai kota besar di pulau Jawa; dan kedua, dari kemahiran para muridnya untuk menguasai bahasa Belanda: syarat utama untuk mengalami mobilitas sosial atau pergerakan nasib ke taraf yang lebih tinggi pada jaman kolonial dewasa itu. Keprihatinan akan mutu akademis itu terus berlanjut pada saat Sekolah Excelsior itu berkembang menjadi Sekolah Santo Thomas yang menyelenggarakan pendidikan dasar dari tingkat TK hingga SMP dewasa ini. Banyak alumninya kini tersebar di pelbagai kota dengan status dan profesi yang cukup baik di mata masyarakat.
4. Excelsior Moral
Di samping segi intelektual, pak Doewe juga sungguh menyadari bahwa pendidikan yang holistik (utuh) itu mengandung dimensi moral juga. Pendidikan itu bukanlah sekedar proses pengalihan ketrampilan & pengetahuan (transfer of skill & knowledge) dari guru ke murid melainkan juga suatu proses radiasi atau pemancaran nilai dan sikap hidup (transfer of value & attitude) agar para siswa/i itu bisa berkembang menjadi anggota masyarakat yang mempunyai tanggungjawab sosial atas nasibnya sendiri dan nasib sesamanya pula. Ringkasnya, kompetensi intelektual itu perlu dilengkapi dengan kompetensi moral agar setiap individu itu mempunyai suara hati pribadi yang senada & segelombang dengan suara hati rakyat (social conscience).
Tragedi dari pendidikan nasional kita dewasa ini adalah proses pendidikan yang malah melahirkan individu yang secara fatal telah mencederai hati nurani rakyat banyak itu: warga dan tokoh teras masyarakat yang malah menjadi “bencana dan bukannya pahala” bagi lingkungan sosialnya. Sadar bahwa krisis moral adalah penyebab utama dari keterpurukan dan kegoncangan nasional yang kini melanda bangsa kita, - mulai dari radikalisme & terorisme hingga ke KKN, plagiarisme, narkoba dan pornografi aktor politik & artis nasional dll. -, maka sekarang ini seluruh lembaga pendidikan negri dan swasta di tanah air dihimbau untuk memberikan pendidikan akhlak & watak (character building) bagi para peserta didik binaannya. Konkretnya, lembaga-lembaga pendidikan itu kini diminta untuk memberi perhatian yang penuh dan sungguh atas mata pelajaran pembentukan akhlak & watak mulia berikut: pendidikan agama, moral Pancasila, budi pekerti, kepribadian, kewiraan dan kewarganegaraan.
Apa kiranya yang bisa kita petik dan pelajari dari praktek pendidikan moral yang dilakukan pak Doewe sebagai seorang guru dan tokoh masyarakat? Nampaknya satu (1) hal berikut ini pantas kita lanjutkan dan lestarikan, yakni: pendidikan moral itu tidaklah bersifat kognitif semata (menyampaikan informasi) melainkan terutama bersifat afektif (menyentuh hati). Aneka mata pelajaran moral yang tadi disebutkan di atas memang penting untuk menambah wawasan dan pengertian, namun pendidikan moral itu hanya akan berakar dan bertahan dalam jiwa manusia kalau hatinya tersentuh oleh rasa kagum dan haru. Dan mayoritas anak didik dan kenalan pak Doewe itu memang tersentuh oleh rasa kagum dan haru saat mereka melihat betapa besarnya cinta pak Doewe akan profesinya sebagai guru dan akan murid-murid yang ada di bawah asuhannya. “Cor ad cor”, artinya: hati itu berbicara kepada hati! Melalui “bahasa hati” itulah maka nilai dan perilaku yang menjiwai karakter pak Doewe itu bisa tercurahkan langsung ke dalam jiwa para muridnya seperti air cucuran atap jatuh di lahan yang subur (transfer of value and attitude), misalnya beberapa nilai dan sikap dasar moral berikut: Cintailah kebenaran (jangan berbohong dan bersaksi dusta), Cintailah kehidupan (jangan membunuh dan menganiaya), Cintailah harta milik orang lain (jangan mencuri, memeras dan menipu), Cintailah citra dan nama baik orang lain (jangan memfitnah, berburuk sangka, melancarkan “character assassination”), Cintailah pasangan dan relasi orang lain (jangan berzinah, berselingkuh dan memperkosa), Cintailah usaha dan pekerjaan yang halal (jangan mabuk, judi dan korupsi), Cintailah dirimu sendiri (jangan menjual harga diri dan suara hati). Melalui “bahasa cinta” semacam itulah pak Doewe berusaha menanamkan semangat ”excelsior moral” di kalangan anak didik dan kenalannya: semangat untuk terus mengembangkan diri menjadi insan yang berbudi luhur dan berhati mulia. Tanpa luruh dalam arogansi (kesombongan), kita memang mesti berusaha membangkitkan rasa kagum, haru dan terimakasih dalam hati orang yang masuk dalam lingkaran hidup kita. Itulah yang dimaksud dengan “pesona moral” (moral appeal): pancaran pengaruh positif yang membentuk kepribadian (character building) manusia menjadi lebih unggul dan terpuji secara moral.
5. Excelsior Religius
Di samping mengandung dimensi intelektual & moral, istilah “Excelsior” itu menyiratkan arti religius pula: excelsior berarti suatu perjuangan untuk mekin menyempurnakan atau menguduskan diri hingga boleh menjadi “anak yang berkenan pada Bapa di surga.” Dengan kata lain, matra religius dari pendidikan adalah proses pengudusan diri (sanctificatio) guna menjadi insan yang beriman & bertakwa kepada Sang Pencipta. Dalam rumusan yang termuat dalam UU Sisdiknas (No. 20, tahun 2003) dikatakan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan nasional itu ialah membentuk manusia menjadi “manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” (catatan: “Takwa” itu berarti saleh atau kudus).
Sepanjang hidupnya, pak Doewe sudah berusaha untuk terlibat dalam karya pengudusan diri & sesama ini: untuk meyakini, menghayati dan menebarkan arti dari sikap iman & takwa kepada Yang Maha Esa. Orang yang beriman adalah orang yang “eling & rumasa,” artinya, orang yang ingat & sadar bahwa hidup manusia itu mempunyai tujuan adikodrati (supernatural aim): tujuan yang lebih tinggi (excelsior) dari batas dunia yang fana dan sirna ini kerna menjangkau hidup abadi bersama Bapa di surga. Didorong oleh iman Kristiani, pak Doewe juga menyadari bahwa manusia itu kelak akan menghadap Bapa Surgawi bukan dengan tangan yang kosong & telanjang melainkan dengan membawa “buah tangan”, yakni buah-buah cintakasih yang telah ditebar dan dipetiknya sepanjang hidupnya di dunia ini (Lihat I Kor. 13: 1-13). Hidup manusia di dunia ini sungguh luhur berharga kerna hidup yang fana dan sementara ini mempunyai gema dan pantulan abadi dalam surga. Dari pikiran dan perbuatannya, kita bisa menyimpulkan bahwa bagi pak Doewe iman & kasih itu adalah suatu dwitunggal yang tak terceraikan, kerna kasih adalah tanda bukti yang paling kentara dari iman yang hidup: iman yang berbuah bagi sesama, bukannya mati dan mandul ditelan verbalisme dan ritualisme belaka: “Sekalipun aku mempunyai iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.” (I Kor. 13: 2. Bdk. Yak. 2:17). Seturut teladan Yesus Kristus Junjungannya, kasih yang diamalkan pak Doewe adalah kasih Kristiani yang menampilkan tiga (3) wajah unik berikut: kasih yang memberi, kasih yang mengampuni, dan kasih yang melayani (the giving, forgiving and serving Love).
Dalam karya pengudusan yang dilaksanakannya, pak Doewe itu pantas disebut sebagai seorang “rasul awam.” Dari Kitab Suci kita tahu bahwa seorang rasul adalah seorang tokoh yang mewartakan Kabar Gembira tentang Kasih Allah dan mendirikan sebuah jemaat di lokasi tertentu. Pak Doewe itu bukan saja putra Sunda pertama yang dibaptis menjadi Katolik melainkan juga putra Sunda pertama yang membentuk suatu lingkaran jemaat Kristiani di tempat ia hidup dan berkarya. Benih yang ditebarkannya itu kini telah berkembang menjadi sebuah semi-paroki di Ciledug dan wilayah sekitarnya. Jejak dan semangat pak Doewe juga masih kental terasa dalam suasana hangat & akrab dan sikap akur & rukun yang mewarnai Stasi Santa Theresia Ciledug kiwari: dengan gembira dan sukarela umat Santa Theresia itu gemar berbagi buah iman & kasih satu sama lain.
6. Penutup
Dalam kancah dan wacana politik nasional sekarang ini, kita kerap mendengar satu istilah sumbang berikut: “Money Politics”. Artinya, politik bukan lagi menjadi seni dan arena guna membaktikan diri demi kesejahteraan umum melainkan menjadi seni untuk menyikat dan menyunat kesejahteraan rakyat itu demi kesejahteraan pribadi. Gelagat serupa juga berkecambah dalam ajang pendidikan nasional kita dewasa ini: “Money Education” atau komersialisasi pendidikan makin menyusupi segala jenjang dan jalur pendidikan Indonesia. Tak heran bila biaya pendidikan itu makin menggelembung tinggi kendati 20% RAPBN hendak dialokasikan bagi dunia pendidikan. Bahaya dari komersialisasi pendidikan ialah melahirkan manusia yang hanya bisa bergerak bila ada insentif eksternal (perangsang dari luar) berupa keuntungan pribadi, seperti kuda yang bergerak kerna mengejar jerami yang ditaruh di ujung hidungnya. Manusia tipe “kuda” semacam itu akan menjadi orang yang sarat dengan pamrih dan kepentingan pribadi (vested interests). Pamrih pribadinya akan melekat dan menunggangi segala pekerjaan dan jabatan yang dilakukannya.
Semangat “Excelsior” yang diwariskan pak Doewe mengajarkan bahwa manusia itu bisa juga digerakkan oleh insentif internal (perangsang batiniah) yang dikendalikan bukan oleh perhitungan komersial untung & rugi melainkan oleh pertimbangan moral baik & buruk. Hidupnya dipandu bukan oleh “interests” semata melainkan juga oleh “values” yang mengawalnya saat memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Bila “interests” adalah sinyal untuk memiliki dan menikmati, maka “values” adalah sinyal untuk mengabdi dan melayani. Pada akhirnya, pak Doewe itu bisa menjadi seorang pribadi yang “berjiwa besar” hanya karena dia telah berusaha untuk menghayati amanah Sang Guru Agung yang menjadi panutannya sepanjang hidup: “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” (Markus 10:45).